Urban Retro ala Biyan

r_WA201511121009(1)

Boho on 70’s vibe. There are also an image of Frida Kahlo on it. A very subtle empowered woman, and really rebellious. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo.20151112

 

Panel-panel kayu berwarna cokelat melapisi dinding Nusantara Ballroom Hotel Dharmawangsa. Panel itu dibangun berjarak dengan dinding asli ballroom yang sudah dilapisi kain berwarna hitam. Biyan Wanaatmadja, desainer label Studio 133, ingin membawa seluruh undangan yang menonton peragaan busananya malam itu ke sebuah dermaga di pelabuhan, tanpa aroma laut. Eksotis, tapi juga urban.

Tahun ini, label Studio 133 memasuki masa tiga dasawarsa. Label sekunder dari Biyan ini konsisten melakukan eksplorasi terhadap pakaian urban, tanpa meninggalkan identitas Indonesia. “Saya suka sekali memadukan unsur modern dengan tradisional,” kata Biyan sebelum peragaan digelar pada Rabu, 11 November lalu. Menurut dia, membikin pakaian dengan cita rasa lokal, tapi dengan tetap tampilan modern, merupakan tantangan yang menarik untuk diselami.

Jangan bayangkan Biyan menerjemahkan dualisme modern yang tradisional itu mentah-mentah. Sebaliknya, dia justru memilih untuk menginterpretasikannya secara halus. Kain ikat asal Uzbekistan, yang menjadi salah satu unsur koleksi ini, misalnya, tidak dimunculkan secara gamblang. Motif pada kain ikat itu dicampurkan juga dengan motif-motif lokal Indonesia yang tentu akrab di mata, mulai dari motif pada beragam batik hingga songket.

Urusan bentuk, Biyan juga mengeksplorasi siluet pakaian tradisional. Misalnya, bentuk kebaya yang diberi sentuhan bahu berbentuk boxy agar terlihat lebih muda. Dia sengaja tidak menampilkan bentuk kebaya secara harfiah. “Bagi saya, kebaya atau pakaian tradisional lainnya itu harus dibiarkan seperti apa adanya,” kata Biyan. Jadi, desainer tidak perlu mengutak-atik bentuk dasar kebaya dengan aplikasi atau macam-macam ornamen sehingga menjadi kebaya yang terlalu ramai. “Kita perlu melestarikan kostum nasional yang lebih jelas. Semisal Jepang dengan kimono yang bentuknya tetap ajek dan bisa menjadi identitas saat dilihat,” kata Biyan.

picture_1_0

Credit photo on @dominiquediyose’s Instagram. As appear on Style.com Indonesia.

Melalui lini ini, Biyan memang terlihat lebih banyak bermain dalam ragam desain. Siluet A-line yang khas, dan sekaligus melambangkan sisi romantik Biyan, memang tetap muncul. Tapi semua dibikin dengan permainan siluet urban. Itu sebabnya, setelan blus dengan celana palazzo, hingga sweater dengan detail ikat berwarna monokromatik, muncul dalam koleksi ini.

Keseluruhan peragaan mode itu sebenarnya berkisah soal satu hari yang panjang bagi kaum urban. Dimulai saat pagi hari dengan iringan musik jazz dan sedikit swing, pakaian bersiluet longgar dan warna-warna cerah, atau kaftan pada koleksi pakaian pria bisa menjadi pilihan. Jangan bayangkan juga anda berada di Jakarta dengan pakaian-pakaian itu. Mood koleksi ini adalah “resor versus urban”. Bisa jadi, ini adalah pakaian-pakaian yang cocok untuk dipakai berlibur ke Maroko.

Biyan juga menyadari bahwa, pada siang hari, sebagian wanita menginginkan warna yang sedikit cerah, ataupun motif yang lebih menyala. Itu ditunjukkan dengan gaun berbahan dasar sutra dengan motif ikat yang diprint besar-besar dan dijahit sedikit miring sehingga tampak asimetris. Ada juga sejumlah jaket dengan detail motif bordir daun semanggi berhelai empat.

Sedangkan untuk sore hingga malam hari, Studio 133 menyediakan pilihan gaun cocktail ataupun rok dengan aksen siluet lonceng hingga gaun penuh bordir yang diberi taburan akrilik menyerupai kerang. Koleksi pakaian malam ini punya ciri khas ala Biyan yang kaya detail.

Era 1970-an tampaknya menjadi inspirasi utama dalam koleksi Studio 133 kali ini. Berbagai macam motif dalam warna terang yang dibikin menjadi kolase serta permainan motif grafis yang kaya menandakan era itu. Belum lagi kemunculan celana palazzo serta siluet longgar pada sebagian blus dan jaket yang muncul di antara 100 tampilan malam itu.

Gelungan rambut di atas kepala lengkap dengan lilitan kain dan anting besar pada para peragawati malam itu mengingatkan kita akan tampilan Frida Kahlo, pelukis wanita asal Meksiko yang menjadi ikon pada era 1930 hingga 1950-an. Bedanya, Frida Kahlo yang ini hidup mapan dan tak sakit-sakitan seperti Kahlo semasa hidupnya. Ini Kahlo yang punya cukup uang untuk berlibur ke Maroko dan membeli baju seharga jutaan rupiah.

Yang jelas, dengan kliennya yang didominasi kelas menengah atas Indonesia, Studio 133 berhasil membuktikan eksistensinya selama 30 tahun. Label sekunder ini juga sukses menjadi jembatan Biyan kepada klien yang lebih kosmopolitan, atau dalam bahasa Biyan dalam konferensi pers sore itu sebelum peragaan: “Mereka yang lebih muda.”

r_WA201511120993(1)

Kazakhstan is a part of main mood from Studio 133. Resort but also very urban. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo.20151112

*tulisan ini dimuat di Koran Tempo edisi akhir pekan, pada Sabtu, 28 November 2015*

Hijab Visioner

Tulisan ini diterbitkan di Koran Tempo, edisi Sabtu, 21 November 2015

Peragawati Paula Verhoeven tetap mampu berjalan cepat mengikuti dentuman musik, meskipun mengenakan gaun besar bermotif kotak-kotak hijau karya desainer Norma Moi dari label Norma Hauri. Gaun besar yang menyapu lantai itu menjadi pembuka peragaan busana desainer busana hijab ini di panggung Jakarta Fashion Week 2016.

Gaun-gaun besar tanpa gemerlap kristal ataupun sequin menjadi andalan Norma pada koleksinya kali ini. “Kami terinspirasi oleh rumah mode dunia yang memiliki identitas yang tidak lekang oleh waktu,” kata Norma kepada Tempo dua pekan lalu. Norma berbicara soal Christobal Balenciaga, Christian Dior, hingga Yves Saint Laurent, yang menjadi inspirasi koleksi bertajuk “Visionary” ini.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

Rumah mode lama, semacam Balenciaga hingga Dior menjadi inspirasi utama Norma Hauri. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Itu sebabnya, permainan siluet dan struktur menjadi kunci utama. Tanpa banyak ornamen, tampilan yang dimunculkan memang mengejutkan mereka yang menonton. Pun referensinya sebenarnya sangat tidak terduga bagi banyak kalangan. Pasalnya, siapa yang mengira bahwa rancangan Balenciaga bisa menginspirasi rancangan modestwear? Ini merupakan istilah untuk menyebut busana hijab ketimbang busana muslim.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

A lot of  hijabers gushing about this sculptural-shape hijab. They said it could be the next trend on hijab. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Kejutan lain juga muncul dari hijab yang dibuat melayang bak struktur patung. Norma membikin hijab itu seakan-akan tertiup angin. “Padahal memang ada struktur kawat di dalamnya,” kata Norma. Lewat pemilihan tema ini, Norma ingin menunjukkan karya desainer masa lalu yang visioner itu sebenarnya tetap bisa diperbarui, termasuk mengaplikasikan siluet itu pada busana hijab.

Langkah ini juga menegaskan segmen pasar Norma Hauri yang berbeda dengan desainer busana hijab lainnya di Indonesia. Sementara sebagian besar desainer mengejar pasar menengah-bawah, serta memproduksi desain yang mudah dan murah, label Norma Hauri serius menyasar pasar menengah-atas. Dewi Sandra, Okky Asokawati, dan Inneke Koesherawati adalah sejumlah nama yang kerap mengenakan rancangannya.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

Gaun penutup koleksi Visionary karya Norma Hauri. Detail pada pakaian ini dilukis dengan tangan. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Yang jelas, meniru struktur gaun yang dibikin Norma bukanlah pekerjaan mudah bagi toko daring tukang jiplak desain. Kelebihan lainnya, rancangan Norma bisa dikenakan oleh mereka yang tidak berhijab, dan tetap terlihat menarik, serta sopan.

Sementara Norma terinspirasi oleh gaya rumah mode lama, desainer Restu Anggraini lewat label ETU justru mengambil inspirasi dari teori bilangan Fibonacci yang dituangkan menjadi proporsi emas. The Rationalist, begitu Restu menamai koleksinya. “Intinya lebih kepada keseimbangan pada struktur yang dibuat,” kata Restu.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

It is about Fibonanci number. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Struktur yang seimbang itu tidak melulu dengan menjadikannya simetri. Pada beberapa blus, kemeja, ataupun blazer yang dibikinnya, Restu justru membikin susunan yang tidak persis simetri. Menurut dia, proporsi pakaian The Rationalist itu dibikin mengimbangi setiap bagian. Jika ada struktur di sebelah kanan pada blusnya, bakal ada struktur lain yang mengimbangi itu pada bagian kiri. “Tapi tidak mesti simetris.”

Lewat ETU, Restu tetap konsisten untuk menyasar segmen pekerja yang mengenakan hijab. Meskipun begitu, rancangannya bisa juga dikenakan oleh mereka yang tidak berhijab atau bahkan bisa juga dikenakan oleh para pria. Tahun depan juga bakal menjadi langkah besar bagi ETU yang akan diundang untuk tampil dalam Virgin Melbourne Fashion Festival. Ini menjadi debut internasional kedua ETU setelah debutnya di Tokyo Fashion Week tahun ini.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

I guess it is a workwear that applicable for everyone. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Hanya, dengan publikasi yang sedemikian masif, penghargaan sebesar Aus$ 10 ribu sebagai Desainer Muda Terbaik dari ANZ Australia Indonesia Young Designer Award, dan debut internasional, ETU perlu mempersiapkan kapasitas produksi yang lebih besar. Ini menjadi kendala yang diakuinya secara jujur, dan perlu segera dibenahi.

Sementara itu, Dian Pelangi, yang tahun ini bikin perhatian dengan masuk daftar 500 orang paling berpengaruh dalam peta mode global versi Business of Fashion, berkolaborasi dengan dua lulusan London College of Fashion. Bertajuk CoIdentity, Odette Steele dari Zambia dan Nelly Rose dari Inggris bereksperimen dengan teknik tekstil tradisional Indonesia: dari batik, tenun, hingga bordir.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

It is simple, but also stylish. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Trio ini berupaya menerjemahkan pelangi dalam rancangan mereka dengan warna-warna terang. Teknik jumputan serta lukisan yang ditampilkan mengingatkan kita pada tampilan kain pantai yang banyak dijual di tempat wisata pesisir. Beberapa batik dengan tulisan nama Dian Pelangi ataupun motif monokromatik lainnya tampil cukup menonjol.

Sayangnya, penataan gaya busana yang menarik itu tidak dikerjakan maksimal. Tabrak lari motif yang tidak mulus membuat banyak tampilan busana gagal memancing perhatian. Secara ansambel, penataan gaya yang dilakukan tidak berhasil meningkatkan faktor “hanger appealing” yang penting di runway.

Jakarta Fashion Week 2016

Koleksi yang benar-benar pelangi dari Dian Pelangi, Nelly Rose dan Odette Steele. Foto: JFW2016/FeminaGroup/Getty

Warna-warna yang ngejreng ditambah aksesori besar dan taburan batu justru terlihat bertumpuk bak onggokan kain pantai. Sebagai desainer yang berpengaruh, dengan 3 juta pengikut di Instagram, Dian perlu membenahi permasalahan styling “tabrak lari” menjadi sedikit lebih tenang, dewasa, dan tidak mencolok.

Jakarta Fashion Week 2016

Foto: FeminaGroup/JFW2016/Getty

Apalagi permasalahan syariah juga menjadi pertimbangan, dan tak jarang menjadi perdebatan di kalangan desainer hijab. Memproduksi desain yang menarik tapi tetap memenuhi kriteria modestwear merupakan tantangan lain bagi para desainer busana hijab di tengah pasar yang tumbuh pesat.

Jakarta Fashion Week 2016

Salah satu tampilan yang menarik dari Dian Pelangi. Foto: JFW2016/FeminaGroup/Getty

 

Let me add another notes:

-Norma Hauri punya segmen khusus yang berbeda dengan desainer modestwear lainnya. Tidak semua wanita cocok dengan DNA label ini.

-ETU bisa dibilang cukup sukses dalam waktu satu tahun sejak debutnya pada JFW tahun lalu. Sangat menarik untuk melihat perjalanan label ini berikutnya. Semoga kapasitas produksinya bisa ditingkatkan. Tanpa itu, semua promosi yang sudah terjadi akan mubazir.

-Dian Pelangi mungkin bisa dibilang berpengaruh secara global lewat jumlah pengikut yang fantastis. Tapi, ada baiknya Dian lebih berani membenahi beragam hal, termasuk styling busananya dan desain yang semoga bisa lebih baik lagi.

Maju-Mundur Desainer Muda di JFW 2016

Setiap tahunnya, Jakarta Fashion Week 2016 menghadirkan desainer-desainer muda pendatang baru. Mereka, diberi panggung di Indonesia Fashion Forward (IFF). Ini merupakan program inkubator kerja sama JFW, Badan Ekonomi Kreatif, dan British Council. Sepuluh desainer anyar tersebut menyasar konsumen yang berbeda-beda. Sebagian juga mengembangkan labelnya ke lini terbatas. Shopatvelvet, riamiranda, dan Alex[a]lexa adalah tiga label yang ditantang untuk membuat produk premium.

OCTOBER 24: A model walks the runway of Indonesia Fashion Forward featuring Spring Summer 2016 collection by By Velvet during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty/JFW2016/Femina)

OCTOBER 24: A model walks the runway of Indonesia Fashion Forward featuring Spring Summer 2016 collection by By Velvet during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty/JFW2016/Femina)

“Label yang kami luncurkan di JFW ini berbeda dengan shopatvelvet,” ujar Randy W. Sastra, desainer byvelvet, dalam JFW 2016 yang berlangsung di Senayan City. Shopatvelvet, dia melanjutkan, merupakan label yang sudah diproduksi secara massal. Dalam satu bulan, mereka bisa memproduksi hingga ribuan potong pakaian. Harga shopatvelvet yang digarap Randy bersama istrinya, Yessi Kusumo, biasanya berkisar pada ratusan ribu rupiah. Sedangkan kisaran harga byvelvet sudah jutaan.

Di label baru tersebut, Randy dan Yessi menggunakan material berbeda. “Lebih banyak bahan yang dekat dengan alam dan juga material kaya tekstur,” ujar Yessi. Ini sesuai dengan tema koleksi perdana byvelvet yang mengusung tema arsitektur modern.

Farnsworth House karya arsitek Ludwig Mies van Rohe diterjemahkan dengan potongan pakaian yang bersih serta sedikit aksen asimetris pada konstruksi pakaian. Yang perlu diacungi jempol dari byvelvet adalah pemilihan palet warnanya yang konsisten. Mulai dari warna krem, hijau pandan, hingga merah bata. Tapi byvelvet masih perlu membuktikan diri dalam eksplorasi desain yang lebih beragam pada musim berikutnya.

Desainer busana muslim Ria Miranda kali ini memilih untuk tampil beda lewat label riamiranda SIGNATURE. “Saya ingin membikin koleksi yang lebih mature,” kata Ria kepada Tempo.

Menurut Ria, secara perlahan dia mulai meninggalkan gaya shabby chic. Ini merupakan nama aksen desain interior yang kental dengan nuansa pastel dan warna pupus yang sebelumnya kerap jadi andalan Ria. “Saat ini, banyak sekali orang yang mengambil inspirasi gaya shabby chic,” kata Ria.

Warna pastel serta palet pupus sebenarnya tetap muncul dalam koleksinya kali ini. Tapi Ria memadukannya dengan motif songket yang diaplikasikan dengan bordir, serta permainan pleats pada hijabnya. Hasilnya berupa tampilan super-feminin dan juga klasik.

Sedangkan Alex[a]lexa ditantang untuk membikin label premium. Dengan label SOE Jakarta, pasangan Monique Soeriatmadja dan Sandy Soeriatmadja mengangkat tema olahraga dengan sentuhan yang chic.

Sabuk karate, jaket baseball, hingga topi pet menjadi penanda inspirasi itu. Uniknya, tafsiran tersebut tidak terlihat harfiah pada beragam tampilannya. Yang muncul adalah koleksi dengan gaya anak muda urban, dengan sedikit sentuhan humor.

In love with this piece by Sean & Sheila! (Getty/Femina/JFW2016)

In love with this piece by Sean & Sheila! (Getty/Femina/JFW2016)

Selain tiga label itu, sejumlah besar label cukup sukses dengan debutnya dalam IFF, di antaranya Sean & Sheila, Lekat, dan IKYK. Koleksi yang terkonsep rapi, serta detail produk yang cukup bersih, sukses mencuri perhatian banyak pemerhati mode Indonesia. Sedangkan label Lotuz, yang kini digawangi pengusaha muda Michelle Surjaputra dan penata gaya Kesya Moedjenan, juga berhasil dengan debut koleksinya.

Namun tidak semua label berhasil memanfaatkan momentum. Anthony Bachtiar, D’Leia, dan Ellyhan gagal menerjemahkan koleksi mereka untuk masuk dalam tren. Ketimbang merancang produk dengan desain yang segar dan maju ke depan—sesuai dengan nama program “Forward”—tiga label ini terjebak pada kerajinan tangan belaka.

Secara estetika, kreasi mereka menarik. Namun lebih dihargai sebagai craft ketimbang produk mode. Jika ingin bertahan dalam program, tiga label ini harus berani melakukan pendekatan radikal dalam desain produknya. Ini penting untuk kredibilitas kurasi program, yang punya seabrek alumnus sukses.

SUBKHAN J. HAKIM

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 1 November 2015.

***

Personal review for IFF 2015:

Angkatan yang agak membingungkan, sedikit penuh drama dan maju-mundur. Dari sepuluh desainer dan label, banyak yang sukses dengan koleksi yang menarik, tapi ada juga yang sepertinya bingung mau apa dengan program ini?

Another great piece from Sean & Sheila. (Getty/JFW2016/Femina)

Another great piece from Sean & Sheila. (Getty/JFW2016/Femina)

Berikut ini bahasan singkatnya:

-Sean & Sheila

Bisa dibilang sebagai salah satu yang terkuat di IFF 2015. Sebenarnya Sean and Sheila, sejak debutnya akhir 2014, memang sudah menunjukkan kalau mereka adalah desainer muda yang layak diperhitungkan. Sean Loh dan Sheila Agatha, merupakan alumnus kompetisi Harpers Bazaar Asia’s Next Generation Fashion Designer Award. Sheila Agatha merupakan pemenang asal Indonesia, sedangkan Sean Loh merupakan jawara dari Malaysia. Keduanya, dulu berkuliah di kampus yang sama, dan kemudian bergabung membikin label Sean & Sheila. Garis desain utama mereka adalah luxury wear for Asian people. Itu sebabnya siluet berupa kimono, seringkali muncul dalam koleksi mereka. Jika pada awal tahun ini mereka terinspirasi Butoh. Untuk tahun depan, mereka bergeser kepada Gustav Klimt.

Beberapa karya Klimt yang sedikit gelap, dan kebanyakan erotis pada masanya–sebenarnya lukisan Klimt lebih mirip versi modern dan duniawi dari lukisan katakombe–menjadi inspirasi mereka. Karya Klimt yang bertajuk The Kiss, menjadi salah satu inspirasi utama mereka kali ini. Hasilnya? Ada fusi yang menarik antara timur dan barat di dalam koleksi mereka. Tak ada siluet yang provokatif, tapi percayalah detail mereka sangat rapi. Begitu juga dengan konsep koleksi yang konsisten dan jauh dari kata ngawur. Secara kualitas, saya harus mengakui mereka salah satu yang terbaik musim ini.

Hanya saja, Sean & Sheila punya pekerjaan rumah yang sangat besar. Dengan kualitas yang mumpuni–dan juga kisaran harga yang lebih tinggi ketimbang desainer lain–mereka harus bisa memasarkan produknya lebih keras lagi. Mereka butuh tim (marketing dan public relation) yang bisa mendukung bisnis mereka secara strategis. Jika masalah itu bisa terpecahkan, Sean & Sheila bisa jadi bakal menuai sukses dalam waktu dekat.

-Byvelvet (Shopatvelvet)

Tantangan terbesar Yessi Kusumo dan Randy W Sastra memang mengangkat label massal shopatvelvet, menjadi label premium byvelvet. Lewat shopatvelvet, sebenarnya mereka sudah punya modal yang kuat berupa tim yang solid (beserta kapasitas produksi yang lebih dari cukup untuk memenuhi standar ritel) hingga tim kehumasan dan pemasaran yang cukup mapan. Secara bisnis, label ini sudah matang untuk bertransformasi.

Mengusung inspirasi arsitektur modern dan kecenderungan pada minimalisme, banyak orang yang masih kecewa dengan permainan desain dari byvelvet. Meskipun palet warna mereka indah, serta konsepnya sangat kuat, masih banyak suara-suara yang mempertanyakan, sejauh apa nilai lebih desain byvelvet? Permainan asimetris dan sedikit dekonstruktif, serta material yang jauh lebih baik dari shopatvelvet tampaknya belum banyak diterima sebagai nilai lebih.

Masih banyak pertanyaan semacam: “Kalau gue bisa beli baju yang mirip-mirip aja dengan label aslinya, kenapa gue harus beli yang premiumnya?”. Eksplorasi desain pada lini premium ini tampaknya masih harus digarap dengan lebih serius bagi byvelvet. Tapi, bagi saya, palet warna mereka musim ini, merupakan salah satu yang paling menyenangkan untuk diliat di IFF 2015.

-Lotuz

Secara pribadi, saya sering mencerca Lotuz sejak debut mereka pertama kali. Bahkan saya tak segan menyebut baju mereka penuh kerut-kerut mengerikan, missed-fit, dan overpriced pada peluncuran label ini tahun lalu. Permainan brokat, serta warna yang tiba-tiba terlalu vibrant juga kadang terasa sangat mengganggu.

Untungnya, Lotuz berubah jauh lebih baik. Rupanya, ada perubahan komposisi Direktur Kreatif dari Yosep Sinudarsono–desainer muda asal Semarang–ke Kesya Moedjenan yang lebih dikenal sebagai fashion stylist. Perubahan yang sebenarnya terjadi kurang dari enam bulan itu, berhasil membawa banyak ‘hal positif’ pada label ini.

Permainan teknik laser cut, siluet penuh struktur dekonstruktif menjadi salah satu hal positif tadi. Bordir, memang masih ada. Tapi ditekan ke arah yang lebih komikal berupa ilustrasi mata, lengkap dengan alis dan bulu mata. Itu menjadi detail yang menarik, tapi sayangnya kurang tergarap dengan rapi. Untungnya, Lotuz sudah berada pada ‘jalan yang benar’ dengan desain yang matang. Saya harus mengucapkan selamat atas hasil kerja keras Michelle Surjaputra dan Kesya kali ini. Yes, it is close enough to luxury ready to wear.

-Lekat

Sejak kemunculannya di JFW tahun lalu, Lekat memang sudah banyak menarik perhatian. Konsep tenun baduy yang diusung, sukses menarik minat banyak orang untuk memakainya. Begitu juga dengan tahun ini. Dengan tema ‘The Eye Has To Travel’, desainer Amanda I Lestari, cukup berhasil menafsirkan kesan 1970-an lewat koleksinya kali ini.

Lewat permainan ilustrasi yang diaplikasikan pada tenun baduy–yang tentu butuh waktu berbulan-bulan dalam pengerjaannya–kesan 70-an itu muncul. Meskipun koleksinya dibikin dari tenun, Amanda sukses mengubahnya menjadi pakaian siap pakai. Sayangnya, ada sedikit permasalahan penataan gaya pakaian-pakaian ini sebagai ansambel. Akibatnya, banyak dahi yang berkerut ataupun wajah yang berjengit saat  melihat presentasi koleksinya.

Bagi mereka yang belum mengenal Lekat, secara otomatis bakal menganggap aneh pakaian yang ditawarkan. Tapi, rasa kagum bakal muncul usai mengetahui material utama Lekat adalah tenun baduy. Amanda masih perlu untuk mengeksplorasi desain Lekat lebih jauh lagi. Bagaimana membikin masyarakat awam bisa menghargai Lekat secara langsung tanpa perlu tahu kalau material utama mereka tenun baduy adalah salah satu tantangan yang harus dijawab oleh Amanda.

-SOE Jakarta (alex[a]lexa)

Sama seperti byvelvet, alex[a]lexa ditantang untuk naik kelas lewat produk premium. Dengan pasar alex[a]lexa yang sudah cukup matang, SOE perlu untuk membikin debut yang menarik. Rupanya, debut Monique dan Sandy Soeriatmadja cukup menjanjikan sebagai label baru.

Inspirasi sporty look, lewat sabuk karate yang diubah menjadi aksen pada beberapa bagian pakaian, atau varsity jacket yang diubah dengan sentuhan yang sedikit quirky, bisa menarik minat banyak orang. Ada sedikit unsur humor yang muncul lewat penafsiran tema itu. Hasilnya, SOE Jakarta terlihat jauh berbeda dari alex[a]lexa. Tantangan yang mungkin harus dijawab oleh duo Monique dan Sandy adalah, bagaimana memproduksi pakaian dengan  material yang lebih baik lewat SOE. Dari segi desain, SOE it’s a good urbanwear label.

-IKYK

Ini merupakan satu dari sedikit label yang sukses secara komersial dengan segmen konsumen yang luas, dan bahkan versatil. IKYK bisa dipakai oleh mereka yang berhijab, hingga segmen etnis tertentu yang sebenarnya tidak terlalu familiar dengan hijab. Ini merupakan buah dari kerja keras IKYK yang terjun lewat beragam curated market.

Secara desain, masih banyak orang yang meragukan desain IKYK. Rancangannya dianggap masih belum terlalu istimewa meskipun menarik untuk disimak. Keraguan ini beralasan mengingat ada banyak label dengan desain serupa di luar sana. Tapi, lewat debutnya di IFF, IKYK lumayan berhasil membikin pernyataan kalau secara desain  mereka punya perbedaan dengan label lain. Hanya saja, mereka masih harus membuktikan eksplorasinya di musim yang akan datang.

-Ria Miranda

Dengan pasar yang spesifik, dan bahkan cenderung stabil, Ria Miranda lewat label riamiranda SIGNATURE menjadi label yang dengan mudah sukses secara komersial di tingkat lokal. Dengan basis massa-nya, apa pun yang dihasilkan lewat label terbaru ini, kemungkinan besar bakal laris.

Dari segi desain, Ria memang tengah membuktikan kalau dia bukan cuma ‘shabby chic’. Dia ingin  membuktikan kalau desainnya lebih dari itu. Mengolah motif songket sebagai aplikasi berupa bordir, hingga ilustrasi suntiang sebagai aksen pada sweater. Ini menjadi eksplorasi yang menarik dari Ria. Setidaknya, dia berhasil membuktikan kalau desainnya bisa berkembang lebih jauh dan lebih menarik.

-Ellyhan, D’Leia, Anthony Bachtiar

Tanpa melebih-lebihkan, saya sama sekali tidak paham alasan pemilihan tiga label ini dalam program. Jujur saja, menurut saya, masih banyak label-label lain yang lebih pantas mendapatkan posisi pada program IFF. Ketimbang siap sebagai produk  mode, ketiganya justru tampil hanya sebagai craft belaka. Desain produk yang ditawarkan dengan mudah bisa anda temukan di Thamrin City atau bahkan Tanah Abang, dan tak perlu susah-susah melihatnya di runway JFW 2016. Tas, kalung mutiara, dan gaun karya mereka memang patut dihargai dari segi kriya.

Sayangnya, penghargaan yang diberikan tidak bisa lebih dari itu. Tidak ada eksplorasi desain yang mengikuti tren mode, atau bahkan proyeksi untuk tampil sebagai produk mode yang mewakili Indonesia secara internasional. It’s officially fashion backward instead of fashion forward!

Another good piece from Sean & Sheila. Well, they produce a lot of good pieces. (Getty/JFW2016)

Another good piece from Sean & Sheila. Well, they produce a lot of good pieces. (Getty/JFW2016)

Hian Tjen Si Maksimalis

HianTjen4

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo Minggu, 23 Agustus 2015

Kepala sapi dan laba-laba raksasa menjadi ‘hidangan’ di atas meja panjang di Dian Ballroom, Hotel Raffles Jakarta. Roti yang ditinggalkan di atas meja dalam kastil penuh belukar itu menjadi tanda bahwa jamuan tak sempat selesai. Terdengar seperti film horor? Tenang saja, ini hanya bagian dari dekorasi peragaan busana desainer muda Hian Tjen. Untuk pertama kalinya, desainer lulusan ESMOD Jakarta itu menggelar peragaan busana tunggal pada Rabu, 19 Agustus 2015 lalu.

Dekorasi yang megah, serta gaun-gaun besar yang diukur dengan terperinci, memang menjadi salah satu ciri khas Hian Tjen. “Saya memang orang yang total. Gak mau setengah-setengah,” kata Hian kepada Tempo, sepekan sebelum peragaan digelar di butiknya di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Peragaan bertajuk Chateau Fleur, yang berarti Kastil Bunga dalam bahasa Prancis ini memang menjadi semacam pembuktian bahwa dia adalah salah satu desainer muda yang perlu diperhitungkan.

Pengakuan bahwa pria berusia 30 tahun in merupakan desainer berbakat sebenarnya sudah datang terlebih dahulu dari Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) yang mengajaknya bergabung dua bulan silam. IPMI merupakan wadah perancang mode yang beranggotakan nama-nama besar seperti Biyan, Didi Budiardjo, hingga Sebastian Gunawan. Desainer Tri Handoko, yang juga salah satu pengurus IPMI, langsung menelepon Hian untuk mengajaknya bergabung. “Gak lama dari telepon itu aku disuruh ikut sesi foto dengan member IPMI yang lain dan setelah itu dipublish di Instagram mereka,” kata Hian.

Kualitas Hian Tjen setara couture, tapi sulit untuk menyebutkannya dengan istilah yang sebenarnya dilindungi secara legal itu.

Kualitas Hian Tjen setara couture, tapi sulit untuk menyebutkannya dengan istilah yang sebenarnya dilindungi secara legal itu.

Sejak itu, Hian resmi menjadi anggota paling anyar dari IPMI. “Aku belum tahu apakah nanti ada inisiasinya atau enggak,” ujar dia. Hingga kini, Hian masih menjadi satu-satunya anggota baru IPMI pada 2015. Terpilih sebagai anggota IPMI, Hian bakal diminta untuk tampil minimal tiga kali setahun, sesuai persyaratan keanggotaan.

Peragaan Chateau Fleur sebenarnya hendak diadakan pada bulan Juni lalu. “Tapi, tanggal yang kupilih ternyata bertepatan dengan peragaan busana Mas Biyan,” kata Hian. Tak mau ambil resiko, dia pun memilih untuk menunda peragaannya hingga Agustus.

Jumlah busana yang hendak dirancang Hian pun sempat fluktuatif. Awalnya, dia hendak merancang 60 tampilan sebelum kemudian memotongnya menjadi 50. Tampilan yang dirancangnya kemudian naik lagi menjadi 57. “Ada masa dimana aku sedikit stuck dalam merancang. Tapi ternyata kemudian aku bisa bikin lebih banyak dari yang aku kira,” ujar dia.

Chateau Fleur, kata Hian, bercerita soal dongeng di dunia tanpa manusia dengan latar kastil yang telah diambil alih oleh alam. Tema itu pun diterjemahkan secara harfiah lewat dekorasi berbentuk kastil dan meja hidangan panjang yang ditumbuhi semak belukar serta laba-laba raksasa tadi. “Ini sebenarnya dongeng klasik yang bercerita soal sisi baik dan buruk,” kata dia.

Dua sisi dalam dongeng itu tentu resep lama yang seringkali digunakan sebagai tema peragaan busana. Apalagi Hian membikin pembagian karakter itu lewat dua macam tata rias serta membagi peragaannya menjadi dua sesi. Bagian pertama, Evil Stalked The Night dimulai oleh peragawati Drina Ciputra dengan gaun merah berkerah tinggi dari bordir yang menutupi dagu.

Koleksi gaun merahnya cocok untuk wanita-wanita yang berani, seksi, dan tidak takut menampakkan sisi jahat di dalam dirinya. Pada sesi ini, Hian mengeksplorasi teknik lipit pisau hingga bordir dan laser cut yang rinci. Sedangkan koleksi gaun hitamnya, mengingatkan kita pada karakter Maleficent pada dongeng Putri Tidur. Dia misterius, liar, dan penuh kekuatan. Permainan material bulu menjadi salah satu poin utama yang menguatkan kesan itu.

Pada bagian kedua yang diberi judul Love Will Bring The Joy, desainer yang memulai kariernya pada 2008 ini mengeksplorasi warna pastel, mulai dari abu-abu, biru muda, hingga emas dan putih. Tampilannya mengingatkan kita pada karakter-karakter peri dan putri dari berbagai dongeng. Sebut saja Thumbelina hingga Belle dari kisah Si Cantik dan Si Buruk Rupa. Mereka tampak rapuh dengan permainan bordir dan aplikasi laser cut yang disusun berlapis-lapis. Ada juga permainan aplikasi bulu unggas yang disusun membentuk sayap.

Puncak peragaan muncul bak dua sisi karakter Odette dan Odil dalam dongeng Danau Angsa. Si Angsa Putih muncul harfiah bak gabungan Ratu Angsa dan Ratu Es dari film The Chronicles of Narnia, sedangkan Si Angsa Hitam muncul dari perpaduan karakter Maleficent dan Ratu Malam dari lakon opera Die Zauberflote alias Suling Ajaib. Tentu, itu semua sesuai dengan inspirasi dongeng yang digalinya sejak dua tahun lalu.

Semua dongeng itu tentu cocok untuk klien Hian. Mereka merupakan bagian dari 0,01 persen penduduk Indonesia yang merancang hidupnya bak dongeng dan mampu membeli gaun-gaun indah. Chateau Fleur menjadi debut pembuktian yang menjanjikan bagi Hian meskipun sebagian besar siluet gaun itu tak baru-baru amat.

Hian Tjen on Chateau Fleur's Finale. Photo courtesy of Tempo.co

Hian Tjen on Chateau Fleur’s Finale. Photo courtesy of Tempo.co

Penggunaan label haute couture pada judul peragaan busana pun sebenarnya bisa dibilang pilihan yang agak berbahaya mengingat istilah couture dilindungi secara hukum di Prancis. Indonesia sendiri hingga kini tak punya badan khusus yang mengatur lisensi soal couture. Sebenarnya, ketimbang menggunakan istilah couture, lebih baik Hian menggunakan istilah adibusana untuk menghindari kemungkinan konsekuensi hukum yang bisa saja timbul. Di luar perkara itu, Hian harus bangga karena dia berhasil membuktikan dirinya sebagai desainer maksimalis.

Kembalinya Kebaya Klasik

Kebaya kartini by Didiet Maulana (Credit: Svarna by IKAT Indonesia)

Kebaya kartini by Didiet Maulana (Credit: Svarna by IKAT Indonesia)

Didiet Maulana harus mencari perajin hingga ke Solo untuk membuat bordir motif burung merak dari benang emas. “Tidak semua orang bisa membikin bordir semacam ini,” kata Didiet kepada Tempo saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan dua pekan lalu. Dia menunjukkan kebaya kartini dengan detail burung merak tadi kepada kami. Sore itu, Didiet baru saja selesai menampilkan enam kebaya karyanya dari lini Svarna di lokasi proyek Apartemen Izzara di Cilandak. Svarna merupakan lini pakaian pernikahan dari label Ikat Indonesia yang sudah ditekuni Didiet sejak empat tahun terakhir.

Kebaya dari bahan beludru berwarna merah darah yang ditunjukkan Didiet kepada kami merupakan kebaya kartini. Ini merujuk pada siluet kebaya dengan bukaan depan dan punya panjang selutut, dan dikenal sebagai kebaya yang digunakan oleh R.A Kartini sewaktu menikah. Biasanya, kebaya jenis ini dilengkapi dengan kerongsang, semacam bros yang merekatkan bagian depan kebaya. Bordir emas dengan motif burung merak menjadi salah satu aplikasi yang muncul pada kebaya kartini ala Didiet Maulana.

Didiet tidak mau sembarangan soal kebaya ataupun pakaian adat pernikahan semacam baju bodo dari Sulawesi Selatan. “Riset itu penting sekali,” ujar dia. Didiet sengaja mengambil bentuk-bentuk pakaian-pakaian lama yang bisa dia temukan. Mulai dari kebaya model lama dari berbagai foto ataupun kostum kerajaan di berbagai pelosok Nusantara untuk memenuhi permintaan kliennya. Meskipun siluet pakaian yang diambilnya merupakan sangat klasik, tetap ada sedikit sentuhan modern dalam kebaya miliknya. “Itu bisa dilakukan dengan padanan pakaiannya.”

Untuk itu, dia memadukan kebaya-kebayanya dengan tenun ikat sebagai sarung bawahan ataupun menambahkan tudung kepala di sanggul pengantin. Atau, bisa juga dia memberikan sentuhan berupa jaket dari bahan tulle yang diberi bordir atau taburan payet yang tidak berlebihan. Selain kebaya Kartini, sore itu dia menampilkan juga kebaya kurung, kutubaru yang dimodifikasi, hingga baju bodo.

Khusus untuk baju bodo, Didiet tidak memilih bentuk blus yang konvensional. “Baju bodonya memang saya modifikasi sedikit,” kata dia. Meskipun tetap longgar, dia menambahkan dimensi lain dengan menambah lapisan di konstruksi baju bodo tersebut. Di lapisan pertama dia menempelkan aplikasi bunga-bunga, sedangkan di lapisan kedua yang menggunakan kain terawang, Didiet mengaplikasikan bordir bunga bertaburan manik-manik dalam warna pastel. Untuk sarungnya, dia menggunakan tenun dari daerah Sengkang, Sulawesi Selatan. Sengkang yang digunakan Didiet, punya motif kotak-kotak dalam warna pastel yang senada dengan baju bodo.

Baju Bodo ala Didiet Maulana lewat lini Svarna. Dia membuat dua lapis baju dengan detail aplikasi bunga pada lapisan bagian dalam baju miliknya. (Credit: Svara by IKAT Indonesia)

Baju Bodo ala Didiet Maulana lewat lini Svarna. Dia membuat dua lapis baju dengan detail aplikasi bunga pada lapisan bagian dalam baju miliknya. (Credit: Svara by IKAT Indonesia)

Bulan lalu, Didiet sempat membikin heboh jagat maya dengan kebaya buatannya untuk penyanyi Andien Aisyah. Dengan siluet sederhana yang mengambil bentuk kebaya kartini dari bahan brokat bertaburan mutiara, Didiet sebenarnya tengah mengambil inspirasi dari pakaian pernikahan eyangnya sendiri. Bahkan kain yang digunakan oleh Andien merupakan kain koleksi pribadi Didiet. Motif kain itu sendiri istimewa, yaitu wahyu tumurun. Untuk pernikahan, kain ini punya makna filosofis agar kedua pengantin diberikan anugrah berupa kehidupan yang bahagia dan sejahtera.

Lini Svarna, kata Didiet memang ditujukan untuk pasangan yang ingin menikah. “Itu sebabnya kami menyediakan kelengkapannya dari kepala hingga kaki,” kata Didiet. Mulai dari roncean melati hingga kembang goyang yang disematkan pada sanggul pengantin wanita, semuanya merupakan bagian dari kelengkapan yang disediakan oleh Svarna. Didiet bahkan tidak segan berburu perhiasan antik untuk melengkapi tampilan para pengantin yang memilih Svarna sebagai lini baju pernikahan mereka.

Untuk Andien misalkan, dia memburu perhiasan antik dari abad ke-19 untuk melengkapi tampilan sahabat dekatnya itu. “Perhiasan rambut yang semacam ini sudah langka sekali,” kata dia sambil menunjukkan foto perhiasan yang dia sematkan sendiri di sanggul Andien. Perhiasan itu berbentuk seperti bros-bros kecil yang sepintas bentuknya mirip kumbang.

Didiet sebenarnya hanya bagian kecil dari gelombang desainer Indonesia yang mengembalikan lagi kebaya ataupun pakaian pernikahan ke bentuk dasarnya. Mulai dari Sapto Djojokartiko hingga belakangan Vera Kebaya yang sangat populer, semua menawarkan rancangan kebaya yang klasik, sesuai pakem dengan sedikit sentuhan desain yang baru. Taburan kristal ataupun modifikasi kebaya asimetris yang berlebihan kini perlahan memang mulai ditinggalkan. Kebaya dengan bentuk klasik dan sederhana mulai digemari kembali ketimbang kebaya-kebaya yang ramai seperti kostum karnaval. Tapi, harga kesederhanaan itu kini tidak lagi murah.

Artikel ini dimuat di Koran Tempo Minggu, 31 Mei 2015.

Adibusana, Couture, atau Kucur?

Desainer sekelas Didi Budiardjo saja gak pernah tuh mengaku-ngaku jadi couturier…

Ada istilah yang menggelitik saat saya menghadiri Jakarta Fashion and Food Festival di Kelapa Gading beberapa waktu lalu. Salah satu pengisi acara yang menggelar peragaan busana di sana menuliskan dengan bangga nama labelnya di buku acara sebagai: XXXXX Couture. Tentu saya tak bakal sebut namanya, tapi topik ini sangat penting dibahas. Apalagi, masih banyak yang ngawur soal istilah haute couture. Yang saya temukan di JFFF mungkin hanya satu dari sekian banyak label dan desainer yang mengaku ‘couture’ tapi berkualitas ‘kucur’.

Haute couture sendiri merujuk pada istilah dalam bahasa Prancis. Terjemahan bebasnya dalam bahasa Inggris kira-kira ‘high dressmaking’ alias membuat pakaian dengan ukuran yang presisi sesuai dengan ukuran pemesan. Pengerjaan couture dilakukan dengan tangan hingga detail terkecilnya. Itu sebabnya membuat couture bisa dibilang sangat menyita waktu.

Itu definisi awal dari couture. Lalu, bagaimana dengan definisi saat ini? Merujuk pada kamus Inggris-inggris Mirriam Webster, haute couture adalah:

:  the houses or designers that create exclusive and often trend-setting fashions for women; also :  the fashions created

yang artinya kira-kira:

: rumah mode atau desainer yang membuat mode (pakaian) eksklusif bagi wanita dan seringkali menjadi pencipta tren

Sudah mengertikah anda? Artinya, label couture itu tidak bisa dipakai sembarangan. Minimal, anda harus menjadi salah satu pencipta tren mode di negara itu. Well, kalau gitu apa anda yang mengenakan istilah couture pada label anda sudah merasa setara dengan Chanel?

Sebaiknya, anda simak lagi penjelasan lanjutannya. Istilah couture di Prancis dipersempit lagi dengan adanya undang-undang khusus. Artinya, istilah haute couture dilindungi oleh hukum. Ada kriteria khusus bagi desainer dan rumah mode untuk disebut sebagai penghasil haute couture sejak 1945. Syarat itu diperbaharui lagi pada tahun 1992. Syarat-syarat ini ditentukan oleh Chambre syndicale de la haute couture di Prancis yang kalau diterjemahkan kira-kira Persatuan Haute Couture. Mereka berfungsi sebagai dewan yang menentukan rumah mode dan desainer mana yang berhak untuk menyandang label’ haute couture. Mereka yang terpilih berhak untuk menggunakan ‘couture’ dalam berbagai material promosinya. Tapi, keanggotaan ini dievaluasi secara berkala, dan bisa saja seseorang yang sudah masuk chambre, lalu keluar lagi dari sana.

Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, ada syarat-syarat yang gak gampang untuk diakui sebagai pembikin adibusana (ini istilah terjemahan couture dalam Bahasa Indonesia). Syarat-syarat untuk diakui sebagai couturier antara lain:

1. Membuat pakaian untuk klien perorangan dengan proses pengukuran baju minimal satu kali, atau bahkan lebih.

2. Punya atelier atau bengkel kerja di Paris yang mempekerjakan setidaknya 15 pegawai dengan status karyawan tetap.

3. Harus memiliki 20 pekerja teknis dalam satu atelier

4. Setiap tahunnya, harus memepersembahkan dua koleksi sesuai musim (Spring-Summer dan Fall-Winter). Setiap koleksi, setidaknya terdiri atas 15 desain asli yang terdiri dari pakaian sehari-hari dan gaun malam pada Januari dan Juli setiap tahunnya.

Jadi, sudahkah anda punya atelier di Paris? Hehehehe.

Hingga kini, belum ada nama desainer Indonesia yang secara resmi terdaftar sebagai couturier di Paris. Tapi, memang ada desainer Indonesia yang ikut serta dalam Paris Fashion Week (Couture) meskipun off schedule. Dia adalah Didit Hediprasetyo. Selebihnya, belum ada lagi.

Apa konsekuensi jika anda menggunakan istilah couture sebagai nama label? Konsekuensi hukum secara langsung di Indonesia memang gak ada. Tapi, jika suatu saat mereka yang menyematkan istilah ‘couture’ itu pergi untuk trade show di Prancis atau negara lain, akan ada banyak pertanyaan–atau bahkan tuntutan secara legal–yang bisa muncul. Bukan hal yang mustahil juga kalau ada orang yang mengerti hukum dan kemudian iseng mendaftarkan gugatan karena anda mencatut istilah couture secara sembarangan untuk mendapatkan profit. Kemungkinan itu sangat terbuka.

Di Indonesia sendiri, tidak ada badan khusus seperti Prancis yang mengurusi soal mode. Kita hanya punya dua asosiasi yaitu Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) dan Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) yang juga tidak punya kewenangan untuk melakukan sertifikasi soal couture atau kucur.

Lalu bagaimana? Sekedar menyarankan untuk anda yang masih rajin jualan dengan nama ‘couture’: silakan hapus embel-embel couture itu dari nama label anda. Kalau ingin tetap gaya, tapi aman dari konsekuensi hukum, silakan gunakan istilah adibusana. Karena hingga kini tidak ada perangkat hukum yang mengatur soal istilah adibusana ini.

Kalau anda masih ngotot, mari saya beri informasi: desainer Indonesia lulusan Ecole de syndicalle de la couture Paris–alias sekolah couturier di Paris yang terafiliasi langsung dengan lembaga adibusana nasional di sana–semacam Auguste Soesastro dan Yogie Pratama saja gak pernah tuh jualan nama ‘couture’. Masa iya sih, anda yang kualitasnya masih ‘kucur’ berani mengklaim diri? Malulah dengan mereka yang sebenarnya lebih sah menyandang gelar couturier, ketimbang anda yang membohongi klien agar mereka mau mengucurkan uang membeli baju ‘kucur’ karya anda.

Couture itu juga bukan melulu kostum ajaib alias ballgown dengan tempelan batik dan tabur-tabur payet semudah menabur bedak Rodeca. Couture juga bisa jadi pakaian sederhana untuk sehari-hari. Yang membedakan couturier dengan desainer lain adalah tekniknya yang gak sembarangan. Auguste Soesastro misalkan, bisa lho membuat baju tanpa potongan di bagian bahu. Lah, anda yang menggunakan nama ‘couture’ itu sudah bisa belum? Saya yakin anda gak bisa! 🙂

Menanti Maestro Batik

Artikel ini merupakan naskah asli–sebelum diedit–dari artikel berjudul serupa di Koran Tempo Minggu, 17 April 2015.

Finale Dewaraja Runway Collection by Iwan Tirta Private Collection, akhir April lalu.

Finale Dewaraja Runway Collection by Iwan Tirta Private Collection, akhir April lalu. (Credit goes to Tempo.co)

Selama tiga dekade Neneng Iskandar menyimpan rahasia dari maestro batik Go Tik Swan yang menjadi gurunya. Rahasia itu, baru disampaikan pada saat Neneng akan menyusun buku Batik Indonesia dan Sang Empu: Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro. “Saya tidak pernah mengatakan pada Mas Go kalau saya ini seorang pengagum dan punya koleksi batik karyanya sejak dulu,” kata Neneng kepada Tempo, Selasa, 12 Mei 2015 di Jakarta.

Awal mula kekaguman Neneng pada Go bermula dari koleksi batik milik ibunya sendiri. “Waktu itu saya heran, ini kok ada nama orang Tionghoa di koleksi batik milik ibu saya?,” ujar nenek berusia 69 tahun itu bercerita. Neneng muda yang penasaran pun bertanya ihwal nama yang tertera pada kain-kain batik itu. Ibunya hanya menjawab singkat kalau Go memang merupakan salah satu maestro batik Indonesia. Dia lahir pada 11 Mei 1931 dan bakal berusia 84 tahun awal pekan ini jika masih hidup. Sayangnya, Go yang diberi gelar Kanjeng Raden Tumenggung Hardjonagoro itu tutup usia pada 5 November 2008.

Neneng, yang aktif di perhimpunan Wastraprema ini, harus membuka rahasianya saat membujuk Go untuk membikin buku. “Waktu itu Mas Go bilang: ‘Saya kan gak punya batik-batik saya dari tahun 1950-an, gimana mau bikin buku?’,” ujar Neneng menirukan perkataan Go. Saat itu, Neneng lalu menenangkan Go dan mengatakan kalau dia punya batik-batik Go dari era itu, karena ibunya juga merupakan kolektor batik. Diberitahu hal itu, Go terkejut dan keheranan. “Jadi, hampir semua koleksi batik yang didokumentasikan di buku itu merupakan koleksi saya,” kata Neneng.

Selain mengenal Go, Neneng sebenarnya juga mengenal Iwan Tirta. Neneng dan Iwan sama-sama menimba ilmu dari Go Tik Swan. Menurut dia, ada dua kesamaan dari sosok Go dan Iwan. “Keduanya sangat njawani meskipun bukan orang Jawa asli,” ujar Neneng. Dia menyebut keduanya, mampu menggali budaya Jawa melalui batik hingga ke akarnya.

Go memang selalu meminta murid-muridnya, termasuk Neneng untuk mempelajari dengan serius budaya Jawa. “Mas Go selalu bilang, kalau mau mengerti batik, kamu harus bisa balajar tari Jawa, karawitan hingga belajar maes manten,” kata Neneng, yang terlibat sebagai salah satu perintis Museum Tekstil Jakarta ini. Awalnya, dia tidak begitu percaya dan menurut saja. Belakangan, dia menyadari kalau di dalam batik, ada berbagai macam simbol yang diabadikan. Neneng mencontohkan motif ukel pada batik yang sebenarnya juga merujuk pada ukel alias gerakan tangan pada tarian Jawa. “Ternyata, semuanya ada hubungannya,” kata dia.

Senada dengan Neneng, Direktur Kreatif Iwan Tirta Private Collection Era Soekamto mengatakan kalau batik, sesungguhnya merupakan media komunikasi visual. “Ada bahasa dan simbol-simbol tertentu yang harus dipahami dalam batik,” kata Era. Menurut dia, simbol-simbol itu punya makna tersendiri yang belum tentu bisa dipahami oleh banyak orang.

Itu sebabnya Era punya tafsiran tersendiri atas batik-batik karya Iwan Tirta dalam koleksi bertajuk Dewaraja yang diluncurkan akhir April lalu, atau lebih dari sepekan setelah hari lahir Iwan Tirta pada 18 April. Untuk menyusun Dewaraja, dia perlu menyusuri sejarah untuk mengetahui makna dari berbagai motif batik yang didokumentasikan oleh Iwan. Koleksi itu pun kemudian muncul berdasarkan tafsiran Era yang didasari oleh sejarah. Risetnya sendiri dilakukan selama dua tahun. “Rambutku sampai acak-acakan waktu menggodok konsep ini,” kata Era. Rupanya dia sempat bingung memahami simbol-simbol yang ada di dalam batik-batik itu. (Untuk membaca artikel soal Dewaraja, silakan klik disini dan disini)

Dia menyusuri motif padma yang menyerupai mandala sebagai bagian dari dualisme Samsara-Nirvana yang bermakna penderitaan dan kebahagiaan, lalu bergeser ke motif-motif simetris dari Iwan yang merujuk pada kitab Hindu Sivaratri Kalpa yang berarti menemukan cermin di dalam diri, dan berakhir pada Antahkarana atau yang disebut cahaya di atas cahaya. Semuanya, kata Era, berakar pada filosofi yang berkembang pada era Majapahit. “Itu menunjukkan kalau nenek moyang kita sudah punya pemahaman yang luar biasa mendalam soal spiritual yang sering disalahartikan sebagai mistisme,” kata Era. Menurut dia, pemahaman itu muncul dalam berbagai macam motif batik yang digali kembali oleh Iwan Tirta sebagai bagian dari 10 ribu motif yang pernah dibikinnya.

Era tidak heran jika Go Tik Swan maupun Iwan Tirta sama-sama menghayati dengan dalam kebudayaan Jawa sebelum menghasilkan batik. Meskipun, dia menyebut Go Tik Swan dan Iwan Tirta punya kedalaman yang berbeda dalam memandang batik. Perbedaan itu juga tampak jelas dalam motif Sawunggaling yang dihasilkan oleh Go Tik Swan atas permintaan Soekarno.

Motif Sawunggaling—yang belakangan disebut sebagai Batik Republik atau Batik Indonesia—merupakan gabungan dari ayam jago alias sawung dan galing alias burung merak. Pada era 1950-an, Go merancang batik itu usai melihat motif pada kain Raja Buleleng. Motif itu tidak hanya diberi warna coklat seperti lazimnya batik Jawa asal Keraton Solo dan Yogyakarta. Go, justru mewarnainya dengan warna-warna cerah yang sebenarnya lazim ditemui pada batik pesisiran. “Hanya Mas Go yang bisa membuat warna-warna seperti itu,” kata Neneng.

Sawunggaling karya Go Tik Swan. (Credit goes to thejakartapost.com)

Sawunggaling karya Go Tik Swan. (Credit goes to thejakartapost.com)

Menurut Neneng, Go sangat setia pada Soekarno. Dia pun sangat kecewa saat Soekarno dituduh terlibat dalam peristiwa G30S PKI pada 1965 dan wafat pada 1970. “Bagi Mas Go, Soekarno diperlakukan tidak adil oleh pemerintah saat itu. Padahal Soekarno itu kan bagaimanapun bapak bangsa,” kata Neneng menirukan pendapat Go. Itu sebabnya, pada periode 1965 hingga 1972, Go sempat mengasingkan diri karena kecewa dengan perlakukan pemerintah pada proklamator.

Buntutnya, Go juga menolak secara halus permintaan Ibu Negara Tien Soeharto untuk membuat batik. “Mas Go meminta Bu Tien untuk menghubungi Iwan Tirta saja,” kata Neneng. Belakangan, Iwan Tirta memang sering diminta untuk membuat batik di era Orde Baru. Hal itu dibenarkan oleh salah satu mantan asisten Iwan Pauly Pattipelohy.

Menurut dia, Tien Soeharto memang menjadi salah satu pelanggan utama Iwan Tirta. “Bu Tien sangat menghargai batik, dan dia seringkali membayar semua batik secara tunai,” kata Pauly yang mendampingi Iwan selama tiga dekade sejak 1970-an. Iwan Tirta, kata Pauly, juga orang yang sangat detail dalam merancang batik.

“Biasanya dia menggunakan prada dari emas asli dan jika perlu mendatangkan bahan taffeta dari Swiss,” ujar Pauly yang kini juga merancang motif batik lewat label Pattipelohy Batik. Iwan—yang seringkali bepergian ke luar negeri—memang tidak pernah membagi asal muasal inspirasi dalam rancangan batiknya. Biasanya, Iwan bakal mengarahkan para pembuat gambar untuk menyusun motif tertentu. “Mas Iwan hanya sering bilang, kalau ingin membuat motif batik, ya harus banyak-banyak belajar dan melihat,” kata dia.

Iwan juga dikenal sangat cerewet soal bagian isen-isen—isian ataupun latar berupa titik atau berbagai garis—dalam motif batiknya. “Dia selalu memberikan isen yang penuh,” kata Pauly. Ini yang membuat pengerjaan batik Iwan Tirta di masa itu bisa lebih lama. “Apalagi kalau Mas Iwan sudah suka terhadap motif tertentu, atau sedang diminta untuk membikin lukisan batik oleh kawan-kawannya itu bisa memakan waktu yang sangat lama,” ujar Pauly.

Kalau sudah begitu, Iwan terkadang lupa untuk memproduksi kain ataupun produk lain untuk mengisi gerai yang dimilikinya. Go Tik Swan, kata Neneng, juga punya kebiasaan yang sama. “Mas Go paling tidak suka dipaksa untuk membikin batik dengan terburu-buru,” ujar dia. Bagi Go, batik merupakan karya seni yang dikerjakan sepenuh jiwa dan raga. Itu sebabnya Neneng menyebut batik tulis tidak bisa dikerjakan dengan canting listrik atau aplikasi komputer. “Bagaimana mau mengolah roso kalau seperti itu caranya?” kata dia.

Neneng mengatakan ada banyak hal yang berubah dalam urusan produksi batik kini. Peralihan bahan bakar dari arang, minyak tanah dan kemudian ke gas, membuat titik didih malam—lilin pelapis yang digunakan untuk mencanting—menjadi berbeda. “Saya sering menemukan keluhan dari perajin kalau menggunakan bahan bakar gas, malam menjadi lebih cepat hangus ketimbang minyak tanah,” kata dia.

Urusan lain yang disebutnya membuat kualitas batik saat ini sulit menyamai batik masa lampau antara lain isen-isen yang tidak lagi sehalus dulu. “Ini karena produksi canting saat ini sudah sulit sekali. Untuk menemukan canting yang bagus kini sudah jarang, ukurannya pun belum tentu semuanya ada,” kata Neneng. Dia merujuk pada ukuran canting dengan titik yang sangat kecil untuk membuat isen-isen cucuk ataupun garis tipis yang kini sudah jarang diproduksi.

Sementara itu, kurator Museum Tekstil Benny Gratha juga memperhatikan kecenderungan serupa pada produksi batik masa kini. “Saat ini, isen-isen dianggap tidak sepenting dulu,” kata penyusun buku Panduan Mudah Belajar Membatik ini. Menurut Benny, sulit untuk menemukan pebatik yang konsisten dengan isen-isen yang dikerjakan dengan teliti.

Masalahnya, pebatik masa kini harus berlomba dengan kebutuhan ekonomi. “Sehingga proses produksinya harus bisa cepat. Untuk mengerjakan batik dengan isen yang halus kan bisa butuh waktu yang sangat lama,” kata Benny. Belum lagi persaingan batik tulis dengan batik cetak juga semakin sengit. Harga yang ditawarkan pun bisa terpaut jauh meskipun kualitasnya juga sangat berbeda.

Soal lain yang muncul belakangan dalam penciptaan motif-motif batik baru belakangan ini adalah, desain batik yang menurut Benny asal-asalan. Jika Go Tik Swan dulu menciptakan motif Sawunggaling sebagai motif batik Indonesia yang menyatukan berbagai gaya batik. Belakangan ini, yang muncul justru motif-motif batik dengan identitas kedaerahan.

“Kadang hasilnya malah aneh dan terkesan maksa,” kata Benny. Menurut dia, terkadang batik-batik daerah itu—yang dihasilkan melalui sayembara—cuma digadang-gadang sebagai kebanggaan daerah saja. “Tahu-tahu begitu kita cek, produksi batiknya tetap di daerah tertentu yang secara tradisional memang sentra penghasil batik. Padahal, harapannya dengan adanya kompetisi batik di provinsi-provinsi tersebut, ada pengrajin-pengrajin batik baru yang bisa berkembang di daerah yang bersangkutan,” ujar Benny.

Jika akhirnya motif batik dari Kalimantan Timur misalkan, tetap diproduksi di Pekalongan, “Untuk apa jadinya ada motif khas daerah itu?,” ujar Benny. Kekhawatiran yang sama juga muncul dari Neneng. “Padahal kan, tidak semua daerah wastra unggulannya itu batik. Ada juga kan daerah yang dikenal karena songket ataupun ikat. Harusnya itu yang dikembangkan,” kata dia. Neneng dan Benny mengatakan ada kesalahan strategi dari pemerintah untuk menumbuhkan batik sebagai identitas masing-masing provinsi yang sebenarnya punya keragaman wastra yang berbeda.

Keduanya juga mengatakan belum ada penerus maestro baru batik yang mampu mengelaborasikan batik sebagai satu kesenian dan keterampilan—bukan hanya sekedar tekstil—seperti Go Tik Swan dan Iwan Tirta. “Saat ini kebanyakan lebih banyak pada permainan kreasi saja,” ujar Benny. Dia menilai ada banyak pebatik yang punya bakat luar biasa dan inovatif. Akan tetapi, belum banyak yang melakukan riset-riset baru atau bahkan mampu menghasilkan motif batik baru seperti Sawunggaling Go Tik Swan ataupun mampu mendokumentasikan dan memadukan ribuan motif klasik seperti Iwan Tirta.

Yang belakangan muncul adalah motif-motif batik modern yang sama sekali tidak berakar pada motif klasik. Benny, Neneng, ataupun Era punya pendapat kalau membuat motif baru wajar-wajar saja dilakukan. “Kalau batik modern sih sifatnya bebas,” kata Era. Menurut Neneng, meskipun batik-batik modern itu bebas, sebaiknya mereka harus bisa memahami karakter batik Indonesia yang punya ciri khas khusus soal keberadaan isen-isen. “Isen itulah yang membedakan batik Indonesia dengan negara lain,” ujar Neneng.

Upaya untuk menafsirkan ulang batik juga muncul dari beberapa desainer. Didi Budiardjo misalkan menafsirkan ulang motif Sawunggaling menjadi sebuah karya instalasi di sebuah pusat perbelanjaan bulan lalu. “Bagi saya, motif ini sudah terlalu lama didiamkan,” kata dia. Didi menampilkan juga motif Sawunggaling karya Go Tik Swan dan Iwan Tirta secara berdampingan. Dia juga membuat kain dodotan besar rancangannya sendiri dalam ukuran besar. Selain itu, Didi juga menafsir ulang Sawunggaling dalam bentuk instalasi video mapping yang ditembakkan pada gaun putih karyanya. Di video itu, Didi menjelaskan secara visual motif batik itu dibuat, hingga akhirnya ditafsirkan bak karakter manga. (Untuk membaca review soal instalasi mode karya Didi Budiardjo, anda bisa klik disini)

Didi Budiardjo dan kain Sawunggaling karyanya di Pusat Perbelanjaan Senayan City. (credit goes to Tempo.co)

Didi Budiardjo dan kain Sawunggaling karyanya di Pusat Perbelanjaan Senayan City. (credit goes to Tempo.co)

Sederet nama baru juga muncul menafsirkan batik—dengan gaya modern—di dunia mode. Sebut saja Nonita Respati lewat label Purana Batik, ataupun Citra Subijakto lewat label Sejauh Mata Memandang. Belum lagi label Populo Batik yang sangat modern dan mengincar pasar luar negeri. “Saya sangat gembira melihat perkembangan batik di Indonesia,” kata konservator tekstil asal Amerika Serikat Julia Brennan.

Julia datang ke Indonesia untuk melakukan restorasi terhadap sejumlah koleksi batik Iwan Tirta yang dimiliki oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Koleksi itu berupa kain batik dengan logo besar Amerika Serikat, ataupun motif batik Ronald Reagan yang diberikan sebagai hadiah untuk kunjungan Presiden Reagan ke Indonesia. “Kebetulan, saya juga pernah bertemu Iwan Tirta waktu saya kecil dan tinggal di Indonesia,” kata dia. Dalam benak Julia kecil, Iwan adalah orang yang membuat batik menjadi sesuatu yang sangat fenomenal di tingkat dunia. “Anda bisa bayangkan kalau dia bisa membuat batik dikenal luas secara internasional waktu itu,” ujar Julia.

Dia mengatakan, restorasi terhadap sejumlah karya Iwan seperti membawa memori masa kecilnya saat masih tinggal di Indonesia. Menurut Julia, seharusnya orang Indonesia bangga memiliki batik sebagai salah satu Warisan Dunia Tak Benda versi UNESCO. Bagi Neneng, hingga saat ini belum ada lagi penerus batik semacam Go Tik Swan dan Iwan Tirta di Indonesia. “Tapi saya percaya, suatu saat nanti bakal ada yang bisa meneruskan. Cuma mungkin masih menunggu waktu yang tepat saja untuk muncul,” kata dia.

Kembalinya Sally

Tampilan perdana dari SAYA by Sally Koeswanto (credit goes to FAME47)

Tampilan perdana dari SAYA by Sally Koeswanto (credit goes to FAME47)

Butuh waktu dua setengah jam bagi para undangan peragaan busana Sally Koeswanto untuk melihat koleksi terbaru sang desainer. Tentu ini bukan sembarang peragaan. Ini merupakan perayaan ulang tahun sekaligus show pertama Sally setelah mengundurkan diri dari dunia mode pada tahun 2013 lalu. Sally memilih sendiri daftar tamu yang bakal hadir di Ballroom Hotel Raffles Jakarta—cabang dari Hotel Raffles Singapura yang mahsyur—tempat peragaan busananya digelar. Itu sebabnya, mereka yang hadir merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi Sally. Mulai dari aktor Ari wibowo selaku sahabat Sally, Pemimpin Redaksi majalah mode Harper’s Bazaar Indonesia Ria Lirungan, hingga pendiri majalah Femina Mirta Kartohadiprodjo semuanya hadir memenuhi undangan. Adapula kritikus mode Syahmedi Dean hingga penulis gaya hidup Samuel Mulia. “Aku lega kalau kalian datang,” kata Sally kepada Mirta, yang hadir memenuhi undangan, Ahad, 22 Maret 2015. Mereka yang hadir disuguhi empat set menu—di luar tapas yang disuguhkan paling awal—dan juga champagne hingga anggur merah. Sambil kekenyangan, setengah mabuk, atau mengantuk usai santap malam, mereka disuguhi 23 gaun karya Sally dalam koleksi bertajuk SAYA. Mata sebagian hadirin membelalak kagum saat peragawati Kateryna Talanova yang membuka peragaan keluar dari panggung, dan berjalan menuju runway berupa sela antar tiga meja makan besar yang ditata malam itu. Mengenakan gaun putih dari bahan jacquard dengan motif flora yang timbul, Kate berjalan sangat dekat dengan para hadirin yang menduduki bangku paling depan malam itu.

Sally punya mata yang jeli pada detail (credit goes to Fame47)

Sally punya mata yang jeli pada detail (credit goes to Fame47)

Cukup dekat bagi mereka untuk melihat detail mutiara Jepang atau kristal Svarovski yang ditaburkan di gaun itu. Dalam beberapa gaun lain yang muncul setelahnya—berturut-turut dari warna putih ke emas lalu hitam—mereka juga bisa melihat jalinan kulit yang disusun sedemikian rupa menjadi detail pada bagian pinggang. Hadirin kembali dibikin berdecak kagum saat mereka melihat detail yang mirip kelopak bunga krisan yang disusun sebagai aplikasi pada beberapa gaun. Kejutan yang diselipkan Sally belum selesai sampai di situ. Kadang dia juga sengaja membuat untaian mutiara di bagian belakang gaun, yang membuat baju-bajunya tampak tidak biasa. Pun, baju-bajunya tetap punya siluet yang seksi dan berani ala Sally. Ada celana super pendek warna putih serta emas, ataupun rok yang dibelah hingga setinggi paha. Kemunculan bustier dan korset dengan ukuran yang sangat pas memeluk tubuh para peragawati top malam itu—mulai dari Laura Muljadi hingga Paula Verhoeven—tentu tetap menjadi benang merah peragaan. Lulusan White House School of Design Australia ini masih mengukuhkan diri sebagai salah satu pembuat korset terbaik di negeri ini.

Terinspirasi dari perjalanannya ke Papua?

Terinspirasi dari perjalanannya ke Papua?

IMG_0419

Bagi Sally, palet putih, emas dan hitam punya arti tersendiri. Warna putih disebut sebagai lambang pencapaian dan rasa cinta, emas melambangkan kualitas harga diri, sedangkan hitam melambangkan misteri hidup yang penuh pergumulan. Tapi, warna-warna itu juga bisa ditangkap lain bagi mereka yang menyaksikan peragaan busana Sally. Putih bisa berarti kelahiran, lalu menuju ke warna emas sebagai puncak kehidupan dan ditutup dengan warna hitam yang menandakan akhir hayat. Sebenarnya, kemana saja Sally saat memutuskan untuk berhenti menjadi desainer dengan alasan mengurus keluarga? “Saya sempat berhenti dan tidak mau tahu soal fashion selama setahun,” kata Sally dalam sambutannya sebelum peragaan busana. Untuk mengisi waktu luangnya usai tidak lagi menjadi desainer, Sally terlibat dalam berbagai kegiatan amal. Dia juga pergi ke Papua untuk melihat pendidikan anak-anak di Nabire. “Di sana, saya melihat anak-anak itu punya mimpi,” kata Sally. Sally pun kembali berpikir soal desain. “Kenapa saya harus menyia-nyiakan bakat yang diberikan oleh Tuhan kepada saya?,” ujar Sally. Pergolakan batin itu yang kemudian kembali merasuki Sally. “Saya merasa tidak jujur pada diri saya.” Ternyata, berhenti dari dunia mode menjadi semacam perenungan untuk Sally sebelum memutuskan untuk kembali berkarya. “Saya seperti lahir kembali,” kata dia. Kembali ke dunia mode 20 tahun setelah memulai karirnya pada 1995, Sally menempati posisi yang tidak tergantikan. Sally punya craftmanship yang tidak dimiliki oleh desainer lain di Indonesia, dan itu sudah membawanya ke Australia Fashion Week dua tahun berturut-turut sebelum hengkang. Hanya ada satu catatan kecil yang perlu diperhatikan oleh Sally: dia harus membuat desainnya punya perbedaan yang kentara dengan desainer lain di luar negeri. Ini penting, karena publik mode lokal kini lebih kejam. Mereka bisa sembarangan menuding seorang desainer menjiplak karya orang lain tanpa pengetahuan yang cukup. Terlepas dari perdebatan soal apakah karya Sally bisa disebut haute couture atau tidak—ini karena ketiadaan lembaga sertifikasi couture resmi di Indonesia seperti di Prancis—semua yang hadir malam itu tahu, Sally adalah Sally.

Neo Sawunggaling

Artikel ini diterbitkan di Koran Tempo Minggu, 26 April 2015

Instalasi Sawunggaling Didi Budiardjo dilihat dari ketinggian.

Instalasi Sawunggaling Didi Budiardjo dilihat dari ketinggian.

Gaun putih polos yang dipasang pada maneken itu berpendar. Ada gambar-gambar yang bergerak, seperti berlarian di permukaannya. Awalnya polos, lalu kemudian muncul gambar yang mirip ayam jago dan perlahan berubah menjadi burung Phoenix. Gambar tadi kembali berubah menjadi ilustrasi kain berwarna jambon dan lalu menjadi coklat. Terakhir, gambar burung tadi, berubah menjadi motif tiga dimensi, seperti perhiasan emas lengkap dengan susunan batu permata. Sekilas, bagian penutup dari presentasi video mapping itu justru mirip kostum ksatria dalam film kartun Jepang Saint Saiya. Ini merupakan bagian dari instalasi Sawunggaling karya desainer Didi Budiardjo yang digelar pertengahan April lalu di Promenade Atrium, Pusat Perbelanjaan Senayan City, Jakarta. Video mapping tadi menjadi interpretasi Didi terhadap motif batik Sawunggaling karya maestro batik KRT Hardjonegoro alias Go Tik Swan. Melalui proyeksi itu pun, pengunjung diajak memahami penciptaan motif Sawunggaling, mulai dari tahap awal batik tersebut masih berupa sketsa, kemudian diisi dan diwarnai, hingga menjadi motif yang utuh. Go, yang mendalami budaya Jawa sejak kecil, secara tidak sengaja terinspirasi dari motif burung pada kain prada Raja Bali Gusti Jelantik. Dia lalu menyatukan dua karakter, yaitu Sawung alias ayam jago dan Galing, yang berarti merak jantan. Batik ini diciptakan atas permintaan Presiden Soekarno, sebagai Batik Republik. “Kalau versi saya sih ini Sawunggaling fantasi,” kata Didi kepada Tempo, Jumat, 10 April 2015. Sawunggaling sebelumnya juga pernah diinterpretasikan oleh Iwan Tirta, murid langsung Go Tik Swan yang belakangan juga dikenal sebagai salah satu maestro batik. Bahkan, Iwan—yang wafat pada 2010 lalu—dikenal luas lewat motif ini. Perbedaan utama Sawunggaling Go Tik Swan dan Iwan terletak pada warna yang dipilih. Jika Go memilih warna ngejreng seperti jambon atau biru, Iwan Tirta justru memilih warna coklat ataupun putih sehingga Sawunggaling miliknya mirip seperti batik klasik Jawa. Kedua kain itu, juga dipamerkan dalam instalasi Sawunggaling Didi Budiardjo, selain kain batik besar karya Didi dengan bagian wajik berwarna hitam di bagian tengahnya. Menurut Didi, motif Sawunggaling sudah terlalu lama didiamkan begitu saja. Kata dia, jarang sekali ada upaya interpretasi terhadap desain-desain batik klasik. “Saya sendiri kadang gemas dengan minimnya upaya interpretasi terhadap kekayaan budaya Indonesia,” ujar dia. Didi menyoroti betapa banyaknya desainer yang membuat desain pakaian dengan bahan dasar batik, tapi tidak berani menafsirkan ulang.

Sawunggaling karya Go Tik Swan. (Credit goes to thejakartapost.com)

Sawunggaling karya Go Tik Swan. (Credit goes to thejakartapost.com)

Didi sendiri mengatakan tidak bakal membuat pakaian dari motif Sawunggaling yang diinterpretasikannya. “Saya justru ingin ini menjadi inspirasi bagi orang lain. Saya harap ada anak-anak muda yang nantinya bisa membuat sesuatu dari apa yang mereka lihat pada instalasi ini,” kata Didi. Instalasi Sawunggaling karya Didi sendiri sebenarnya merupakan bagian ketiga dari perayaan seperempat abad berkarya Didi yang rangkaiannya dimulai akhir tahun lalu. Rangkaian tersebut dimulai dengan peragaan busana bertajuk Curiousity Cabinet, lalu berlanjut dengan pameran Pilgrimage di Museum Tekstil dan ditutup dengan instalasi Sawunggaling. Untuk menggarap itu semua, Didi menggandeng Felix Tjahyadi sebagai penata artistik, serta Agra Satria yang menggarap ilustrasi pada video mapping dalam ruangan gelap berbentuk wajik di tengah pusat perbelanjaan itu. Menurut Agra, ada alasan tertentu soal pengulangan bentuk wajik yang muncul pada kain, serta pada bentuk bangunan instalasi tempat maneken dan video mappping. “Bentuk wajik—dalam kosmologi Jawa—dipercaya menyerap energi buruk,” kata Agra kepada Tempo. Itu sebabnya, ruang pamer baju tempat video mapping ditembakkan sengaja dibentuk seperti itu.

Didi Budiardjo dan kain Sawunggaling karyanya di Pusat Perbelanjaan Senayan City. (credit goes to Tempo.co)

Didi Budiardjo dan kain Sawunggaling karyanya di Pusat Perbelanjaan Senayan City. (credit goes to Tempo.co)

Bentuk keseluruhan instalasi yang mengambil ruang yang cukup luas di tengah koridor mall selama lebih dari sepekan itu juga sebenarnya juga mengikuti motif bunga yang muncul pada motif Sawunggaling. “Tapi bentuk itu cuma bisa dilihat dari atas,” kata Agra. Benar saja, saat dilihat dari atas, keseluruhan instalasi ternyata membentuk motif flora yang serupa dengan motif kain. Bagi mereka yang menyaksikan, interpretasi baru Sawunggaling Didi bisa dilihat dengan berbeda-beda. “Kelihatannya justru seperti ornamen dari zaman barok,” kata penata gaya James Thornandes saat melihat instalasi Didi. Dia merujuk pada bagian akhir presentasi video mapping. Bagi James, bentuk tiga dimensi dari Sawunggaling itu justru terlihat lebih modern. “Dan ternyata batik itu bisa ditafsirkan jadi lebih modern dan edgy,” kata dia. Apa pun tafsirannya, Didi sukses menggelitik persepsi siapa pun yang melihat Sawunggaling miliknya. Meskipun, banyak juga pengunjung mall yang tidak ngeh soal maksud instalasi itu meskipun ada banyak penjelasan disana.

Langit dan Bumi di IFW 2015

Kebaya Anne Avantie di IFW 2015 (Tempo.co)

Kebaya Anne Avantie di IFW 2015 (Tempo.co)

(Artikel ini merupakan artikel asli yang diterbitkan dalam rubrik Pesona, Koran Tempo Minggu, 8 Maret 2015)

Jaket putih dengan detail bordir keperakan pada bahan transparan menjadi penutup koleksi duo desainer Sean Loh dan Sheila Agatha, 24 tahun, dalam ajang Indonesia Fashion Week 2015, Ahad, 1 Maret 2015. Pasangan desainer Malaysia-Indonesia yang bernaung di bawah label Sean & Sheila tersebut, sebenarnya terbilang sebagai pendatang baru di industri mode Indonesia. Pemilihan duo perancang–yang disponsori oleh majalah mode Harper’s Bazaar–sebagai penutup IFW, menjadi tampilan berbeda IFW tahun ini. Biasanya, desainer Asosiasi Pengusaha dan Perancang Mode Indonesia (APPMI), pelopor gelaran IFW, menjadi penutup hajatan akbar yang digelar keempat kalinya itu.

Sean & Sheila menjadi satu dari dua desainer Indonesia yang tampil menutup malam itu selain Peggy Hartanto. Keduanya punya ciri khas yang jelas. Peggy Hartanto dikenal luas dengan rancangan gaun cocktailnya yang sudah dipakai oleh selebriti Hollywood. Sedangkan Sean & Sheila menyebut desainnya memadukan tradisi lokal dengan citarasa internasional. “Kami tetap memasukkan unsur kearifan dan keterampilan lokal dalam desain kami,” ujar Sean Loh dalam wawancara khususnya dengan Tempo pekan lalu usai peragaan busana.

Desainer lain yang tampil menarik dalam IFW tahun ini antara lain Ardistia New York, Populo Batik, dan Sofie pada hari pertama. Kemudian ada desainer busana muslim Jenahara, Ria Miranda dan Itang Yunasz—lewat label Moshaict—serta label Lekat pada hari kedua. Desainer Albert Yanuar lewat lini kedua merk pakaiannya Algarry dan desainer Rinda Salmun yang tampil pada hari ketiga juga wajib untuk disebut sebagai salah satu yang terbaik. Serta adapula Hartono Gan, Lulu Lutfi Labibi, Yosep Sinudarsono—ketiganya tergabung dalam label Fashion First—serta lulusan Lembaga Pendidikan Tata Busana Susan Budiardjo yang bergabung dalam peragaan berjudul Permixtio.

Di luar nama-nama yang disebutkan tadi, masih banyak kebingungan dan kebosanan dalam rancangan para desainer. Sebagian bahkan memilih untuk bernostalgia dengan desain era 1980-an, tanpa sadar kalau periode itu sudah lama ditinggalkan. Ada juga yang mengulang-ulang koleksinya setiap tahun dengan bungkus yang berbeda dan peragaan yang sangat meriah. Sebut saja desainer kebaya kondang Anne Avantie dengan kebayanya yang seperti kostum karnaval.

Beberapa kain sarungnya sudah kita lihat pada koleksi Legong Srimpi tahun lalu. Pun semua penonton sudah tahu kalau Anne hanya memindahkan aksen bunga pada kebaya brokatnya dari pangkal paha ke bahu. Satu-satunya yang baru dari peragaan Anne kali ini adalah penggunaan aplikasi kain perca dari sisa-sisa kebakaran Pasar Klewer Solo pada beberapa brokatnya. Ini sesuai dengan karakter Anne yang juga seorang filantropis, dan sesuai dengan gelaran bertajuk Pasar Klewer Riwayatmu Kini. Bagaimanapun, publik menyukai peragaan ala Anne. Buktinya, acara itu penuh disesaki penonton yang rela menyaksikan acara sambil berdiri.

Sebagian besar desainer APPMI tetap mempertahankan pengolahan kain tradisional sebagai nyawa utama desainnya. Kebanyakan dari desain itu bahkan tidak lagi baru, karena diluar panggung peragaan busana di Jakarta Convention Center, ada ribuan gerai yang menjual produk yang mirip-mirip. Mengunjungi IFW tahun ini lebih mirip mengunjungi pasar besar dengan jumlah pengunjung yang mencapai 120 ribu orang.

Desainer daerah yang bergabung dalam parade APPMI pun belum bisa unjuk gigi. Masih banyak ‘desainer’ yang menganggap desain pakaian yang baik harus bertaburan sequin, kristal, ataupun penuh aplikasi wastra tradisional. Padahal, desain pakaian—bagaimanapun meriahnya—tetap harus fungsional, karena pada dasarnya pakaian dibeli untuk dipakai, bukan untuk disimpan di lemari.

Terlepas dari itu semua, IFW mungkin bisa disebut sebagai ajang yang cukup berhasil mendekatkan mode kepada masyarakat luas. Akan tetapi, jangan sampai pengertian dan selera mode yang populer di masyarakat luas justru salah kaprah dan membikin arah desain mode Indonesia menjadi ngawur. Wacana pemisahan antara Indonesia Fashion Week dengan fashion trade show yang dicetuskan oleh Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf perlu disambut dengan baik. “Perlu dipisahkan agar Indonesia Fashion Week lebih fokus pada urusan desain dan trade show fokus pada bisnis,” kata Triawan saat diminta memberikan sambutan di penutupan IFW.

Koleksi 'Butoh' dari Sean & Sheila (credits goes to Style.com Indonesia)

Butoh from Sean & Sheila (credits goes to Style.com Indonesia)

Pemisahan itu harus dibarengi dengan kemauan semua pemangku kepentingan dalam industri mode—mulai dari grup media gaya hidup, pengusaha garmen dan tekstil, hingga asosiasi perancang—untuk bekerjasama dan mengesampingkan berbagai perbedaan yang sudah mengakar puluhan tahun lamanya. Indonesia butuh definisi dan visi yang utuh soal mode. Begitu juga dengan standar desainer. Jangan pernah bermimpi untuk menjadi pusat mode dunia dan rujukan tren pada 2025 jika masih ada perbedaan besar bak langit dan bumi antara desainer dengan tukang jahit yang mendaku diri sebagai ‘desainer’.