Urban Retro ala Biyan

r_WA201511121009(1)

Boho on 70’s vibe. There are also an image of Frida Kahlo on it. A very subtle empowered woman, and really rebellious. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo.20151112

 

Panel-panel kayu berwarna cokelat melapisi dinding Nusantara Ballroom Hotel Dharmawangsa. Panel itu dibangun berjarak dengan dinding asli ballroom yang sudah dilapisi kain berwarna hitam. Biyan Wanaatmadja, desainer label Studio 133, ingin membawa seluruh undangan yang menonton peragaan busananya malam itu ke sebuah dermaga di pelabuhan, tanpa aroma laut. Eksotis, tapi juga urban.

Tahun ini, label Studio 133 memasuki masa tiga dasawarsa. Label sekunder dari Biyan ini konsisten melakukan eksplorasi terhadap pakaian urban, tanpa meninggalkan identitas Indonesia. “Saya suka sekali memadukan unsur modern dengan tradisional,” kata Biyan sebelum peragaan digelar pada Rabu, 11 November lalu. Menurut dia, membikin pakaian dengan cita rasa lokal, tapi dengan tetap tampilan modern, merupakan tantangan yang menarik untuk diselami.

Jangan bayangkan Biyan menerjemahkan dualisme modern yang tradisional itu mentah-mentah. Sebaliknya, dia justru memilih untuk menginterpretasikannya secara halus. Kain ikat asal Uzbekistan, yang menjadi salah satu unsur koleksi ini, misalnya, tidak dimunculkan secara gamblang. Motif pada kain ikat itu dicampurkan juga dengan motif-motif lokal Indonesia yang tentu akrab di mata, mulai dari motif pada beragam batik hingga songket.

Urusan bentuk, Biyan juga mengeksplorasi siluet pakaian tradisional. Misalnya, bentuk kebaya yang diberi sentuhan bahu berbentuk boxy agar terlihat lebih muda. Dia sengaja tidak menampilkan bentuk kebaya secara harfiah. “Bagi saya, kebaya atau pakaian tradisional lainnya itu harus dibiarkan seperti apa adanya,” kata Biyan. Jadi, desainer tidak perlu mengutak-atik bentuk dasar kebaya dengan aplikasi atau macam-macam ornamen sehingga menjadi kebaya yang terlalu ramai. “Kita perlu melestarikan kostum nasional yang lebih jelas. Semisal Jepang dengan kimono yang bentuknya tetap ajek dan bisa menjadi identitas saat dilihat,” kata Biyan.

picture_1_0

Credit photo on @dominiquediyose’s Instagram. As appear on Style.com Indonesia.

Melalui lini ini, Biyan memang terlihat lebih banyak bermain dalam ragam desain. Siluet A-line yang khas, dan sekaligus melambangkan sisi romantik Biyan, memang tetap muncul. Tapi semua dibikin dengan permainan siluet urban. Itu sebabnya, setelan blus dengan celana palazzo, hingga sweater dengan detail ikat berwarna monokromatik, muncul dalam koleksi ini.

Keseluruhan peragaan mode itu sebenarnya berkisah soal satu hari yang panjang bagi kaum urban. Dimulai saat pagi hari dengan iringan musik jazz dan sedikit swing, pakaian bersiluet longgar dan warna-warna cerah, atau kaftan pada koleksi pakaian pria bisa menjadi pilihan. Jangan bayangkan juga anda berada di Jakarta dengan pakaian-pakaian itu. Mood koleksi ini adalah “resor versus urban”. Bisa jadi, ini adalah pakaian-pakaian yang cocok untuk dipakai berlibur ke Maroko.

Biyan juga menyadari bahwa, pada siang hari, sebagian wanita menginginkan warna yang sedikit cerah, ataupun motif yang lebih menyala. Itu ditunjukkan dengan gaun berbahan dasar sutra dengan motif ikat yang diprint besar-besar dan dijahit sedikit miring sehingga tampak asimetris. Ada juga sejumlah jaket dengan detail motif bordir daun semanggi berhelai empat.

Sedangkan untuk sore hingga malam hari, Studio 133 menyediakan pilihan gaun cocktail ataupun rok dengan aksen siluet lonceng hingga gaun penuh bordir yang diberi taburan akrilik menyerupai kerang. Koleksi pakaian malam ini punya ciri khas ala Biyan yang kaya detail.

Era 1970-an tampaknya menjadi inspirasi utama dalam koleksi Studio 133 kali ini. Berbagai macam motif dalam warna terang yang dibikin menjadi kolase serta permainan motif grafis yang kaya menandakan era itu. Belum lagi kemunculan celana palazzo serta siluet longgar pada sebagian blus dan jaket yang muncul di antara 100 tampilan malam itu.

Gelungan rambut di atas kepala lengkap dengan lilitan kain dan anting besar pada para peragawati malam itu mengingatkan kita akan tampilan Frida Kahlo, pelukis wanita asal Meksiko yang menjadi ikon pada era 1930 hingga 1950-an. Bedanya, Frida Kahlo yang ini hidup mapan dan tak sakit-sakitan seperti Kahlo semasa hidupnya. Ini Kahlo yang punya cukup uang untuk berlibur ke Maroko dan membeli baju seharga jutaan rupiah.

Yang jelas, dengan kliennya yang didominasi kelas menengah atas Indonesia, Studio 133 berhasil membuktikan eksistensinya selama 30 tahun. Label sekunder ini juga sukses menjadi jembatan Biyan kepada klien yang lebih kosmopolitan, atau dalam bahasa Biyan dalam konferensi pers sore itu sebelum peragaan: “Mereka yang lebih muda.”

r_WA201511120993(1)

Kazakhstan is a part of main mood from Studio 133. Resort but also very urban. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo.20151112

*tulisan ini dimuat di Koran Tempo edisi akhir pekan, pada Sabtu, 28 November 2015*

Hijab Visioner

Tulisan ini diterbitkan di Koran Tempo, edisi Sabtu, 21 November 2015

Peragawati Paula Verhoeven tetap mampu berjalan cepat mengikuti dentuman musik, meskipun mengenakan gaun besar bermotif kotak-kotak hijau karya desainer Norma Moi dari label Norma Hauri. Gaun besar yang menyapu lantai itu menjadi pembuka peragaan busana desainer busana hijab ini di panggung Jakarta Fashion Week 2016.

Gaun-gaun besar tanpa gemerlap kristal ataupun sequin menjadi andalan Norma pada koleksinya kali ini. “Kami terinspirasi oleh rumah mode dunia yang memiliki identitas yang tidak lekang oleh waktu,” kata Norma kepada Tempo dua pekan lalu. Norma berbicara soal Christobal Balenciaga, Christian Dior, hingga Yves Saint Laurent, yang menjadi inspirasi koleksi bertajuk “Visionary” ini.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

Rumah mode lama, semacam Balenciaga hingga Dior menjadi inspirasi utama Norma Hauri. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Itu sebabnya, permainan siluet dan struktur menjadi kunci utama. Tanpa banyak ornamen, tampilan yang dimunculkan memang mengejutkan mereka yang menonton. Pun referensinya sebenarnya sangat tidak terduga bagi banyak kalangan. Pasalnya, siapa yang mengira bahwa rancangan Balenciaga bisa menginspirasi rancangan modestwear? Ini merupakan istilah untuk menyebut busana hijab ketimbang busana muslim.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

A lot of  hijabers gushing about this sculptural-shape hijab. They said it could be the next trend on hijab. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Kejutan lain juga muncul dari hijab yang dibuat melayang bak struktur patung. Norma membikin hijab itu seakan-akan tertiup angin. “Padahal memang ada struktur kawat di dalamnya,” kata Norma. Lewat pemilihan tema ini, Norma ingin menunjukkan karya desainer masa lalu yang visioner itu sebenarnya tetap bisa diperbarui, termasuk mengaplikasikan siluet itu pada busana hijab.

Langkah ini juga menegaskan segmen pasar Norma Hauri yang berbeda dengan desainer busana hijab lainnya di Indonesia. Sementara sebagian besar desainer mengejar pasar menengah-bawah, serta memproduksi desain yang mudah dan murah, label Norma Hauri serius menyasar pasar menengah-atas. Dewi Sandra, Okky Asokawati, dan Inneke Koesherawati adalah sejumlah nama yang kerap mengenakan rancangannya.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

Gaun penutup koleksi Visionary karya Norma Hauri. Detail pada pakaian ini dilukis dengan tangan. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Yang jelas, meniru struktur gaun yang dibikin Norma bukanlah pekerjaan mudah bagi toko daring tukang jiplak desain. Kelebihan lainnya, rancangan Norma bisa dikenakan oleh mereka yang tidak berhijab, dan tetap terlihat menarik, serta sopan.

Sementara Norma terinspirasi oleh gaya rumah mode lama, desainer Restu Anggraini lewat label ETU justru mengambil inspirasi dari teori bilangan Fibonacci yang dituangkan menjadi proporsi emas. The Rationalist, begitu Restu menamai koleksinya. “Intinya lebih kepada keseimbangan pada struktur yang dibuat,” kata Restu.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

It is about Fibonanci number. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Struktur yang seimbang itu tidak melulu dengan menjadikannya simetri. Pada beberapa blus, kemeja, ataupun blazer yang dibikinnya, Restu justru membikin susunan yang tidak persis simetri. Menurut dia, proporsi pakaian The Rationalist itu dibikin mengimbangi setiap bagian. Jika ada struktur di sebelah kanan pada blusnya, bakal ada struktur lain yang mengimbangi itu pada bagian kiri. “Tapi tidak mesti simetris.”

Lewat ETU, Restu tetap konsisten untuk menyasar segmen pekerja yang mengenakan hijab. Meskipun begitu, rancangannya bisa juga dikenakan oleh mereka yang tidak berhijab atau bahkan bisa juga dikenakan oleh para pria. Tahun depan juga bakal menjadi langkah besar bagi ETU yang akan diundang untuk tampil dalam Virgin Melbourne Fashion Festival. Ini menjadi debut internasional kedua ETU setelah debutnya di Tokyo Fashion Week tahun ini.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

I guess it is a workwear that applicable for everyone. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Hanya, dengan publikasi yang sedemikian masif, penghargaan sebesar Aus$ 10 ribu sebagai Desainer Muda Terbaik dari ANZ Australia Indonesia Young Designer Award, dan debut internasional, ETU perlu mempersiapkan kapasitas produksi yang lebih besar. Ini menjadi kendala yang diakuinya secara jujur, dan perlu segera dibenahi.

Sementara itu, Dian Pelangi, yang tahun ini bikin perhatian dengan masuk daftar 500 orang paling berpengaruh dalam peta mode global versi Business of Fashion, berkolaborasi dengan dua lulusan London College of Fashion. Bertajuk CoIdentity, Odette Steele dari Zambia dan Nelly Rose dari Inggris bereksperimen dengan teknik tekstil tradisional Indonesia: dari batik, tenun, hingga bordir.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

It is simple, but also stylish. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Trio ini berupaya menerjemahkan pelangi dalam rancangan mereka dengan warna-warna terang. Teknik jumputan serta lukisan yang ditampilkan mengingatkan kita pada tampilan kain pantai yang banyak dijual di tempat wisata pesisir. Beberapa batik dengan tulisan nama Dian Pelangi ataupun motif monokromatik lainnya tampil cukup menonjol.

Sayangnya, penataan gaya busana yang menarik itu tidak dikerjakan maksimal. Tabrak lari motif yang tidak mulus membuat banyak tampilan busana gagal memancing perhatian. Secara ansambel, penataan gaya yang dilakukan tidak berhasil meningkatkan faktor “hanger appealing” yang penting di runway.

Jakarta Fashion Week 2016

Koleksi yang benar-benar pelangi dari Dian Pelangi, Nelly Rose dan Odette Steele. Foto: JFW2016/FeminaGroup/Getty

Warna-warna yang ngejreng ditambah aksesori besar dan taburan batu justru terlihat bertumpuk bak onggokan kain pantai. Sebagai desainer yang berpengaruh, dengan 3 juta pengikut di Instagram, Dian perlu membenahi permasalahan styling “tabrak lari” menjadi sedikit lebih tenang, dewasa, dan tidak mencolok.

Jakarta Fashion Week 2016

Foto: FeminaGroup/JFW2016/Getty

Apalagi permasalahan syariah juga menjadi pertimbangan, dan tak jarang menjadi perdebatan di kalangan desainer hijab. Memproduksi desain yang menarik tapi tetap memenuhi kriteria modestwear merupakan tantangan lain bagi para desainer busana hijab di tengah pasar yang tumbuh pesat.

Jakarta Fashion Week 2016

Salah satu tampilan yang menarik dari Dian Pelangi. Foto: JFW2016/FeminaGroup/Getty

 

Let me add another notes:

-Norma Hauri punya segmen khusus yang berbeda dengan desainer modestwear lainnya. Tidak semua wanita cocok dengan DNA label ini.

-ETU bisa dibilang cukup sukses dalam waktu satu tahun sejak debutnya pada JFW tahun lalu. Sangat menarik untuk melihat perjalanan label ini berikutnya. Semoga kapasitas produksinya bisa ditingkatkan. Tanpa itu, semua promosi yang sudah terjadi akan mubazir.

-Dian Pelangi mungkin bisa dibilang berpengaruh secara global lewat jumlah pengikut yang fantastis. Tapi, ada baiknya Dian lebih berani membenahi beragam hal, termasuk styling busananya dan desain yang semoga bisa lebih baik lagi.

Panggung Kesatria Dua Generasi

Peragawati Laura Muljadi kebagian tugas besar: menutup Jakarta Fashion Week 2016. Dengan sayap rotan bertumpuk dua, helm mirip kepunyaan personel grup musik Daft Punk, dan tiara dari kayu tipis berulir, “beban” Laura memang berat.

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yanuardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty/FeminaGroup/JFW2016)

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yunardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty/FeminaGroup/JFW2016)

Kostum seberat puluhan kilogram yang membikin Laura seperti makhluk persilangan alien dan superhero Ultraman itu merupakan karya perancang aksesori Rinaldy A. Yunardi. “Terima kasih karena sudah memberikan kepercayaan kepada saya,” tulis Laura dalam kolom komentar di akun Instagram majalah Dewi yang memuat videonya saat berjalan di runway. Rinaldy merupakan satu dari lima desainer pilihan Dewi dalam acara tahunan Dewi Fashion Knights yang digelar pada Jumat, 30 Oktober lalu.

Dewi Fashion Knights merupakan acara pemilihan desainer Indonesia paling akbar versi majalah besutan Femina Group itu. Perhelatan ini biasanya digelar sebagai penutup Jakarta Fashion Week setiap tahun. Selain menunjuk Rinaldy, yang menjadi pamungkas, Dewi memilih Peggy Hartanto, Lulu Lutfi Labibi, Felicia Budi, serta desainer Australia kelahiran Indonesia, Haryono Setiadi.

Rinaldy adalah yang paling senior di antara lima desainer itu. Dikenal luas dengan gaya desain aksesorinya yang glamor, malam itu, mengusung tema “Lady Warrior”, Rinaldy membuktikan bahwa dia tak hanya jagoan dalam urusan perhiasan.

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yunardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta.

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yunardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta.

Desainer asal Medan yang mengaku belajar merancang secara otodidak itu memajankan kepiawaiannya menerjemahkan tema “‘Eyes to The Future” dari Dewi. Di balik kostum bertema futuristik yang dirancangnya dari rotan, kayu, hingga kertas daur ulang, dia ingin menunjukkan bahwa ada proses desain dan kerja tangan yang dilakukan selama ribuan jam.

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yunardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty Images/JFW2016)

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yunardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty Images/JFW2016)

Desainer pakaian Felicia Budi, yang dikenal lewat eksplorasi materialnya melalui label Fbudi, juga berhasil mencuri perhatian. Membuka peragaan dengan koleksi berwarna putih gading dan detail rumbai, Felicia menunjukkan kecakapannya dalam mengolah material.

My personal fave from FBudi's collection on DFK 2016. (GettyImages/JFW2016/FeminaGroup)

My personal fave from FBudi’s collection on DFK 2016. (GettyImages/JFW2016/FeminaGroup)

Berbahan seratus persen katun organik, ataupun organza, seluruh koleksi yang diperagakan malam itu dibuat dengan metode tenun Sikka, Nusa Tenggara Timur. “Secara fisik mungkin banyak yang mengira itu bukan tenun. Tapi kami tetap menyebutnya sebagai tenun,” ujar Feli—panggilan Felicia—kepada Tempo.

Tema yang diusung Feli dalam koleksinya kali ini terinspirasi sajak Kahlil Gibran bertajuk “Freedom”. Sajak tentang pembebasan dan kemerdekaan itu diterjemahkan lewat detail pada tekstil yang terkesan kasar, sedikit asimetris, dan terlihat liar. Mengusung tema “Tanah Air”, Feli juga punya misi yang hendak dipenuhi lewat koleksi itu. “Sebagian hasil dari penjualan koleksi ini bakal disumbangkan untuk kepentingan pembangunan sekolah penenun di NTT,” kata dia.

Sementara Feli terinspirasi sajak, Peggy Hartanto membikin koleksi dari bentuk-bentuk biota laut. “Awalnya, aku sempat jalan-jalan ke Grand City di Surabaya, lalu lihat ikan-ikan di akuarium,” ujar Peggy. Bentuk sirip, tekstur, ataupun motif ikan itu menjadi salah satu ide dasar Peggy dalam membuat koleksi.

Some 'unfinished' dress from Peggy Hartanto. (GettyImages/JFW2016/FEminaGroup)

Some ‘unfinished’ dress from Peggy Hartanto. (GettyImages/JFW2016/FeminaGroup)

Bentuk itu diolah menjadi pola khusus dalam pakaiannya yang diterjemahkan dalam aksen pada pinggang atau dada. Dalam Dewi Fashion Knights, Peggy berani tampil dengan potongan unfinished, yang membuatnya keluar dari zona nyaman desain potongan rapi serta bersih.

Another deconstructive structured on Peggy Hartanto. (Getty/FeminaGroup/JFW2016)

Another deconstructive structure on Peggy Hartanto. (Getty/FeminaGroup/JFW2016)

Desainer asal Yogyakarta, Lulu Lutfi Labibi, tampil dengan tema “Jantung Hati”. Dengan diiringi lagu dari Frau bertajuk Sepasang Kekasih Pertama yang Bercinta di Angkasa, Lulu tampil dengan tumpukan motif yang tabrak lari dalam setelan blus dan bawahan yang sepertinya terlampau cocok sebagai satu kesatuan.

Motif bunga mirip corak kebaya kembang Paris pada bahan berwarna cokelat dikawinkan dengan bahan lurik. Kali ini, Lulu tidak terlalu banyak bermain draperi asimetris yang telah menjadi cirinya. Dia juga banyak merancang gaun, atau blus dengan sedikit aksen asimetris. Menurut Lulu, koleksinya bercerita tentang orang yang sedang jatuh cinta. “Saat seseorang jatuh cinta, belum tentu mood-nya itu berteriak,” kata dia. Sebaliknya, mood jatuh cinta ala Lulu lebih tenang, yang ditunjukkan lewat pilihan lagu serta tabrakan motif yang lebih kalem.

Finale from Lulu Lutfi Labibi. Lagu tema Sepasang Kasih yang Pertama Kali Bercinta di Angkasa, sukses menarik perhatian banyak orang.

Finale from Lulu Lutfi Labibi. Lagu tema Sepasang Kasih yang Pertama Kali Bercinta di Angkasa, sukses menarik perhatian banyak orang. (Getty/Femina/JFW2016)

Sedangkan Haryono Setiadi ingin membuktikan bahwa dia tetap menyusuri akarnya di Indonesia meskipun sudah menjadi warga Australia. Untuk koleksi bertajuk “Serene”, Haryono mengeksplorasi kain tenganan dengan metode ikat ganda asal Bali. Dia tidak asal memotong kain itu dan mengaplikasikannya pada pakaian. Sebaliknya, tenun ganda menjadi bagian tak terpisahkan dari koleksi ini.

Lihat bagaimana Haryono mengeksplorasi material asal Tenganan dalam koleksinya. Sama sekali tak terlihat etnik, meskipun menggunakan metode etnik pada aplikasi pakaiannya. (Getty/JFW2016/Femina)

Lihat bagaimana Haryono mengeksplorasi material asal Tenganan dalam koleksinya. Sama sekali tak terlihat etnik, meskipun menggunakan metode etnik pada aplikasi pakaiannya. (Getty/JFW2016/Femina)

Tenun tenganan tadi diaplikasikan sebagai aksen pada bagian bahu atau bahkan sebagai rok pendek. “Butuh waktu satu setengah tahun bagi saya untuk melakukan riset soal ini,” ujar dia. Bagi Haryono, menafsirkan kebudayaan Indonesia tidak harus melulu dengan membikin pakaian bergaya etnik. Malam itu, dia berhasil menunjukkan kepiawaiannya sebagai finalis International Woolmark Prize, meskipun belum bisa maksimal memenuhi ekspektasi sebagian besar penonton.

Sebagian besar tepuk tangan riuh malam itu diberikan kepada Rinaldy A. Yunardi, yang menunjukkan tingginya jam terbangnya sebagai senior. Dia tahu panggung dan sanggup memahami keinginan sederet selebriti, sosialita, dan pencinta mode malam itu. Rinaldypunya faktor wow paling besar dalam desainnya, faktor yang belum tentu dipunyai desainer lain.

SUBKHAN J. HAKIM

Artikel ini diterbitkan di Koran Tempo, 7 November 2015, dengan beberapa informasi tambahan.

Catatan tambahan and fun facts:

-Tenun ganda Tenganan yang digunakan oleh Haryono merupakan salah satu metode paling langka yang masih digunakan hingga kini di Bali. Itu sebabnya butuh waktu 1,5 tahun bagi Haryono untuk melakukan riset terhadap tekstil tersebut.

-Lulu Lutfi Labibi baru tiba untuk persiapan show nya di Jakarta, jelang tanggal 30 Oktober. Dia memilih untuk fokus pada koleksinya. Bagi Lulu, DFK merupakan sesuatu yang besar. Sepekan sebelum peragaan, dia bahkan sengaja membolos dari beberapa konferensi pers peragaan busana nya di Jakarta.

-Peggy Hartanto sebenarnya sudah terinspirasi oleh beragam bentuk biota laut sejak kuliah di Australia. Dia sempat meriset bentuk dan motif makhluk laut itu saat masih berkuliah dulu. Tapi, kunjungannya ke akuarium mall Grand City Surabaya yang menjadi pemantik dia membikin koleksi bertajuk Fin ini.

-Felicia Budi memang menghindari membikin warna ngejreng pada koleksinya yag bertajuk Tanah Air. Sebaliknya, dia justru menghindari warna-warna terang pada karakter asli wastranya. Itu sebabnya Feli menyebutnya sebagai tenun yang bukan tenun.

My personal review on DFK 2016:

Menarik untuk dilihat. Tapi sebenarnya ini lebih mirip pertempuran 4 lawan 1. Felicia, Peggy, Lulu dan Haryono merupakan nama-nama baru yang harus kita tunggu perkembangannya lima hingga 10 tahun mendatang. Kita masih harus menunggu terobosan-terobosan baru dari mereka serta eksplorasi lebih jauh dari apa yang mereka rumuskan saat ini. Tentu, kita tidak ingin masing-masing dari mereka mengembangkan desain yang membosankan setiap tahunnya. Kami pasti bakal menunggu ide baru atau bahkan konsep baru dalam desain pakaian–yang semoga–penuh kejutan ketimbang mudah ditebak.

Jika panggung DFK adalah pertempuran tinju, pemenangnya mungkin adalah Rinaldy A Yunardi. Jam terbangnya berbicara lewat rancangan yang dia suguhkan malam itu. Terlepas dari perdebatan desain siapa yang jadi referensi Rinaldy–yang kadang seringkali dipermasalahkan–dia masih menjadi desainer aksesori yang sulit digantikan. Peragaannya malam itu, seakan berteriak: “Yeah. It’s me.” Dan ya, dia masih menjadi satu-satunya.

This is madness. Fashion madness. (Getty/JFW2016/Femina)

This is a madness. A high-fashion madness. (Getty/JFW2016/Femina)

Maju-Mundur Desainer Muda di JFW 2016

Setiap tahunnya, Jakarta Fashion Week 2016 menghadirkan desainer-desainer muda pendatang baru. Mereka, diberi panggung di Indonesia Fashion Forward (IFF). Ini merupakan program inkubator kerja sama JFW, Badan Ekonomi Kreatif, dan British Council. Sepuluh desainer anyar tersebut menyasar konsumen yang berbeda-beda. Sebagian juga mengembangkan labelnya ke lini terbatas. Shopatvelvet, riamiranda, dan Alex[a]lexa adalah tiga label yang ditantang untuk membuat produk premium.

OCTOBER 24: A model walks the runway of Indonesia Fashion Forward featuring Spring Summer 2016 collection by By Velvet during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty/JFW2016/Femina)

OCTOBER 24: A model walks the runway of Indonesia Fashion Forward featuring Spring Summer 2016 collection by By Velvet during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty/JFW2016/Femina)

“Label yang kami luncurkan di JFW ini berbeda dengan shopatvelvet,” ujar Randy W. Sastra, desainer byvelvet, dalam JFW 2016 yang berlangsung di Senayan City. Shopatvelvet, dia melanjutkan, merupakan label yang sudah diproduksi secara massal. Dalam satu bulan, mereka bisa memproduksi hingga ribuan potong pakaian. Harga shopatvelvet yang digarap Randy bersama istrinya, Yessi Kusumo, biasanya berkisar pada ratusan ribu rupiah. Sedangkan kisaran harga byvelvet sudah jutaan.

Di label baru tersebut, Randy dan Yessi menggunakan material berbeda. “Lebih banyak bahan yang dekat dengan alam dan juga material kaya tekstur,” ujar Yessi. Ini sesuai dengan tema koleksi perdana byvelvet yang mengusung tema arsitektur modern.

Farnsworth House karya arsitek Ludwig Mies van Rohe diterjemahkan dengan potongan pakaian yang bersih serta sedikit aksen asimetris pada konstruksi pakaian. Yang perlu diacungi jempol dari byvelvet adalah pemilihan palet warnanya yang konsisten. Mulai dari warna krem, hijau pandan, hingga merah bata. Tapi byvelvet masih perlu membuktikan diri dalam eksplorasi desain yang lebih beragam pada musim berikutnya.

Desainer busana muslim Ria Miranda kali ini memilih untuk tampil beda lewat label riamiranda SIGNATURE. “Saya ingin membikin koleksi yang lebih mature,” kata Ria kepada Tempo.

Menurut Ria, secara perlahan dia mulai meninggalkan gaya shabby chic. Ini merupakan nama aksen desain interior yang kental dengan nuansa pastel dan warna pupus yang sebelumnya kerap jadi andalan Ria. “Saat ini, banyak sekali orang yang mengambil inspirasi gaya shabby chic,” kata Ria.

Warna pastel serta palet pupus sebenarnya tetap muncul dalam koleksinya kali ini. Tapi Ria memadukannya dengan motif songket yang diaplikasikan dengan bordir, serta permainan pleats pada hijabnya. Hasilnya berupa tampilan super-feminin dan juga klasik.

Sedangkan Alex[a]lexa ditantang untuk membikin label premium. Dengan label SOE Jakarta, pasangan Monique Soeriatmadja dan Sandy Soeriatmadja mengangkat tema olahraga dengan sentuhan yang chic.

Sabuk karate, jaket baseball, hingga topi pet menjadi penanda inspirasi itu. Uniknya, tafsiran tersebut tidak terlihat harfiah pada beragam tampilannya. Yang muncul adalah koleksi dengan gaya anak muda urban, dengan sedikit sentuhan humor.

In love with this piece by Sean & Sheila! (Getty/Femina/JFW2016)

In love with this piece by Sean & Sheila! (Getty/Femina/JFW2016)

Selain tiga label itu, sejumlah besar label cukup sukses dengan debutnya dalam IFF, di antaranya Sean & Sheila, Lekat, dan IKYK. Koleksi yang terkonsep rapi, serta detail produk yang cukup bersih, sukses mencuri perhatian banyak pemerhati mode Indonesia. Sedangkan label Lotuz, yang kini digawangi pengusaha muda Michelle Surjaputra dan penata gaya Kesya Moedjenan, juga berhasil dengan debut koleksinya.

Namun tidak semua label berhasil memanfaatkan momentum. Anthony Bachtiar, D’Leia, dan Ellyhan gagal menerjemahkan koleksi mereka untuk masuk dalam tren. Ketimbang merancang produk dengan desain yang segar dan maju ke depan—sesuai dengan nama program “Forward”—tiga label ini terjebak pada kerajinan tangan belaka.

Secara estetika, kreasi mereka menarik. Namun lebih dihargai sebagai craft ketimbang produk mode. Jika ingin bertahan dalam program, tiga label ini harus berani melakukan pendekatan radikal dalam desain produknya. Ini penting untuk kredibilitas kurasi program, yang punya seabrek alumnus sukses.

SUBKHAN J. HAKIM

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 1 November 2015.

***

Personal review for IFF 2015:

Angkatan yang agak membingungkan, sedikit penuh drama dan maju-mundur. Dari sepuluh desainer dan label, banyak yang sukses dengan koleksi yang menarik, tapi ada juga yang sepertinya bingung mau apa dengan program ini?

Another great piece from Sean & Sheila. (Getty/JFW2016/Femina)

Another great piece from Sean & Sheila. (Getty/JFW2016/Femina)

Berikut ini bahasan singkatnya:

-Sean & Sheila

Bisa dibilang sebagai salah satu yang terkuat di IFF 2015. Sebenarnya Sean and Sheila, sejak debutnya akhir 2014, memang sudah menunjukkan kalau mereka adalah desainer muda yang layak diperhitungkan. Sean Loh dan Sheila Agatha, merupakan alumnus kompetisi Harpers Bazaar Asia’s Next Generation Fashion Designer Award. Sheila Agatha merupakan pemenang asal Indonesia, sedangkan Sean Loh merupakan jawara dari Malaysia. Keduanya, dulu berkuliah di kampus yang sama, dan kemudian bergabung membikin label Sean & Sheila. Garis desain utama mereka adalah luxury wear for Asian people. Itu sebabnya siluet berupa kimono, seringkali muncul dalam koleksi mereka. Jika pada awal tahun ini mereka terinspirasi Butoh. Untuk tahun depan, mereka bergeser kepada Gustav Klimt.

Beberapa karya Klimt yang sedikit gelap, dan kebanyakan erotis pada masanya–sebenarnya lukisan Klimt lebih mirip versi modern dan duniawi dari lukisan katakombe–menjadi inspirasi mereka. Karya Klimt yang bertajuk The Kiss, menjadi salah satu inspirasi utama mereka kali ini. Hasilnya? Ada fusi yang menarik antara timur dan barat di dalam koleksi mereka. Tak ada siluet yang provokatif, tapi percayalah detail mereka sangat rapi. Begitu juga dengan konsep koleksi yang konsisten dan jauh dari kata ngawur. Secara kualitas, saya harus mengakui mereka salah satu yang terbaik musim ini.

Hanya saja, Sean & Sheila punya pekerjaan rumah yang sangat besar. Dengan kualitas yang mumpuni–dan juga kisaran harga yang lebih tinggi ketimbang desainer lain–mereka harus bisa memasarkan produknya lebih keras lagi. Mereka butuh tim (marketing dan public relation) yang bisa mendukung bisnis mereka secara strategis. Jika masalah itu bisa terpecahkan, Sean & Sheila bisa jadi bakal menuai sukses dalam waktu dekat.

-Byvelvet (Shopatvelvet)

Tantangan terbesar Yessi Kusumo dan Randy W Sastra memang mengangkat label massal shopatvelvet, menjadi label premium byvelvet. Lewat shopatvelvet, sebenarnya mereka sudah punya modal yang kuat berupa tim yang solid (beserta kapasitas produksi yang lebih dari cukup untuk memenuhi standar ritel) hingga tim kehumasan dan pemasaran yang cukup mapan. Secara bisnis, label ini sudah matang untuk bertransformasi.

Mengusung inspirasi arsitektur modern dan kecenderungan pada minimalisme, banyak orang yang masih kecewa dengan permainan desain dari byvelvet. Meskipun palet warna mereka indah, serta konsepnya sangat kuat, masih banyak suara-suara yang mempertanyakan, sejauh apa nilai lebih desain byvelvet? Permainan asimetris dan sedikit dekonstruktif, serta material yang jauh lebih baik dari shopatvelvet tampaknya belum banyak diterima sebagai nilai lebih.

Masih banyak pertanyaan semacam: “Kalau gue bisa beli baju yang mirip-mirip aja dengan label aslinya, kenapa gue harus beli yang premiumnya?”. Eksplorasi desain pada lini premium ini tampaknya masih harus digarap dengan lebih serius bagi byvelvet. Tapi, bagi saya, palet warna mereka musim ini, merupakan salah satu yang paling menyenangkan untuk diliat di IFF 2015.

-Lotuz

Secara pribadi, saya sering mencerca Lotuz sejak debut mereka pertama kali. Bahkan saya tak segan menyebut baju mereka penuh kerut-kerut mengerikan, missed-fit, dan overpriced pada peluncuran label ini tahun lalu. Permainan brokat, serta warna yang tiba-tiba terlalu vibrant juga kadang terasa sangat mengganggu.

Untungnya, Lotuz berubah jauh lebih baik. Rupanya, ada perubahan komposisi Direktur Kreatif dari Yosep Sinudarsono–desainer muda asal Semarang–ke Kesya Moedjenan yang lebih dikenal sebagai fashion stylist. Perubahan yang sebenarnya terjadi kurang dari enam bulan itu, berhasil membawa banyak ‘hal positif’ pada label ini.

Permainan teknik laser cut, siluet penuh struktur dekonstruktif menjadi salah satu hal positif tadi. Bordir, memang masih ada. Tapi ditekan ke arah yang lebih komikal berupa ilustrasi mata, lengkap dengan alis dan bulu mata. Itu menjadi detail yang menarik, tapi sayangnya kurang tergarap dengan rapi. Untungnya, Lotuz sudah berada pada ‘jalan yang benar’ dengan desain yang matang. Saya harus mengucapkan selamat atas hasil kerja keras Michelle Surjaputra dan Kesya kali ini. Yes, it is close enough to luxury ready to wear.

-Lekat

Sejak kemunculannya di JFW tahun lalu, Lekat memang sudah banyak menarik perhatian. Konsep tenun baduy yang diusung, sukses menarik minat banyak orang untuk memakainya. Begitu juga dengan tahun ini. Dengan tema ‘The Eye Has To Travel’, desainer Amanda I Lestari, cukup berhasil menafsirkan kesan 1970-an lewat koleksinya kali ini.

Lewat permainan ilustrasi yang diaplikasikan pada tenun baduy–yang tentu butuh waktu berbulan-bulan dalam pengerjaannya–kesan 70-an itu muncul. Meskipun koleksinya dibikin dari tenun, Amanda sukses mengubahnya menjadi pakaian siap pakai. Sayangnya, ada sedikit permasalahan penataan gaya pakaian-pakaian ini sebagai ansambel. Akibatnya, banyak dahi yang berkerut ataupun wajah yang berjengit saat  melihat presentasi koleksinya.

Bagi mereka yang belum mengenal Lekat, secara otomatis bakal menganggap aneh pakaian yang ditawarkan. Tapi, rasa kagum bakal muncul usai mengetahui material utama Lekat adalah tenun baduy. Amanda masih perlu untuk mengeksplorasi desain Lekat lebih jauh lagi. Bagaimana membikin masyarakat awam bisa menghargai Lekat secara langsung tanpa perlu tahu kalau material utama mereka tenun baduy adalah salah satu tantangan yang harus dijawab oleh Amanda.

-SOE Jakarta (alex[a]lexa)

Sama seperti byvelvet, alex[a]lexa ditantang untuk naik kelas lewat produk premium. Dengan pasar alex[a]lexa yang sudah cukup matang, SOE perlu untuk membikin debut yang menarik. Rupanya, debut Monique dan Sandy Soeriatmadja cukup menjanjikan sebagai label baru.

Inspirasi sporty look, lewat sabuk karate yang diubah menjadi aksen pada beberapa bagian pakaian, atau varsity jacket yang diubah dengan sentuhan yang sedikit quirky, bisa menarik minat banyak orang. Ada sedikit unsur humor yang muncul lewat penafsiran tema itu. Hasilnya, SOE Jakarta terlihat jauh berbeda dari alex[a]lexa. Tantangan yang mungkin harus dijawab oleh duo Monique dan Sandy adalah, bagaimana memproduksi pakaian dengan  material yang lebih baik lewat SOE. Dari segi desain, SOE it’s a good urbanwear label.

-IKYK

Ini merupakan satu dari sedikit label yang sukses secara komersial dengan segmen konsumen yang luas, dan bahkan versatil. IKYK bisa dipakai oleh mereka yang berhijab, hingga segmen etnis tertentu yang sebenarnya tidak terlalu familiar dengan hijab. Ini merupakan buah dari kerja keras IKYK yang terjun lewat beragam curated market.

Secara desain, masih banyak orang yang meragukan desain IKYK. Rancangannya dianggap masih belum terlalu istimewa meskipun menarik untuk disimak. Keraguan ini beralasan mengingat ada banyak label dengan desain serupa di luar sana. Tapi, lewat debutnya di IFF, IKYK lumayan berhasil membikin pernyataan kalau secara desain  mereka punya perbedaan dengan label lain. Hanya saja, mereka masih harus membuktikan eksplorasinya di musim yang akan datang.

-Ria Miranda

Dengan pasar yang spesifik, dan bahkan cenderung stabil, Ria Miranda lewat label riamiranda SIGNATURE menjadi label yang dengan mudah sukses secara komersial di tingkat lokal. Dengan basis massa-nya, apa pun yang dihasilkan lewat label terbaru ini, kemungkinan besar bakal laris.

Dari segi desain, Ria memang tengah membuktikan kalau dia bukan cuma ‘shabby chic’. Dia ingin  membuktikan kalau desainnya lebih dari itu. Mengolah motif songket sebagai aplikasi berupa bordir, hingga ilustrasi suntiang sebagai aksen pada sweater. Ini menjadi eksplorasi yang menarik dari Ria. Setidaknya, dia berhasil membuktikan kalau desainnya bisa berkembang lebih jauh dan lebih menarik.

-Ellyhan, D’Leia, Anthony Bachtiar

Tanpa melebih-lebihkan, saya sama sekali tidak paham alasan pemilihan tiga label ini dalam program. Jujur saja, menurut saya, masih banyak label-label lain yang lebih pantas mendapatkan posisi pada program IFF. Ketimbang siap sebagai produk  mode, ketiganya justru tampil hanya sebagai craft belaka. Desain produk yang ditawarkan dengan mudah bisa anda temukan di Thamrin City atau bahkan Tanah Abang, dan tak perlu susah-susah melihatnya di runway JFW 2016. Tas, kalung mutiara, dan gaun karya mereka memang patut dihargai dari segi kriya.

Sayangnya, penghargaan yang diberikan tidak bisa lebih dari itu. Tidak ada eksplorasi desain yang mengikuti tren mode, atau bahkan proyeksi untuk tampil sebagai produk mode yang mewakili Indonesia secara internasional. It’s officially fashion backward instead of fashion forward!

Another good piece from Sean & Sheila. Well, they produce a lot of good pieces. (Getty/JFW2016)

Another good piece from Sean & Sheila. Well, they produce a lot of good pieces. (Getty/JFW2016)

Wanita Rococo ala Seba

“Perfect. ” Itu menjadi kata terakhir yang diucapkan seorang model pria dalam tayangan iklan label Sebastian Sposa. Tayangan singkat itu diputar sebelum peragaan busana bertajuk A Lady’s Portrait dimulai di Hotel Ritz Carlton Pacific Place Jakarta. Sposa merupakan label gaun pengantin dari Sebastian Gunawan, atau yang biasa dipanggil Seba.

Lady-like ? Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151006.

Lady-like ?
Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151006.

Anggota Ikatan Perancang Mode Indonesia ini menggelar peragaan untuk dua label sekaligus. Selain koleksi gaun pengantin yang diiklankan secara paripurna oleh dua pria yang mengkhayalkan penampilan pengantin wanita pada hari pernikahan mereka, ada juga koleksi yang lebih kasual dari lini Sebastian Red. Ini menjadi kolaborasi Seba dengan sang istri Christina Panarese.

“Kami terinspirasi dari citra wanita pada abad 18 hingga ke 19,” ujar Seba yang ditemui usai peragaan, Senin, 5 Oktober 2015. Dia merujuk pada sosok Marie Antoinette, istri dari Raja Louis XVI, yang berasal dari Austria, yang dikenal dengan kehidupan yang gemerlapan.

Itu sebabnya, panggung malam itu dirancang mirip seperti fasad istana Versailles. Semuanya serba simetri, dengan proporsi sempurna, yang menjadi ciri khas zaman barok. Ada juga emblem kerajaan yang terukir pada dinding-dinding bangunan berwarna putih, dan juga simetris.

Simetri itu juga muncul secara konsisten juga lewat peragaan Seba malam itu. Seluruh koleksi gaunnya—baik untuk label Red atau Sposa—muncul dengan proporsi simetri. Sebut saja gaun besar dengan aksen pinggang kecil, dan rok besar, baik berupa rok berpotongan mullet, ballgown untuk Sposa.

Barok dan Rococo dengan sedikit twist dimana-mana.  Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151006.  *** Local Caption *** .

Barok dan Rococo dengan sedikit twist dimana-mana.
Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151006. *** Local Caption *** .

Seba sebenarnya tidak cuma bercerita soal era barok lewat koleksinya kali ini. Dia memadukannya dengan unsur era rococo yang muncul setelahnya. Era ini bisa disebut mendominasi koleksi musim ini. Anda bisa melihatnya lewat aksen mirip bantalan lebar pada pinggul, cape, potongan lengan yang menyerupai lonceng serta warna-warna pupus mirip seperti warna macaron.

Palet seperti biru muda, merah muda, hijau muda, banyak muncul malam itu. Sebagian koleksi rancangannya dilengkapi juga dengan ornamen motif flora serta aksen kristal pada beberapa bagian pakaiannya. Sangat khas era rococo yang dikenal penuh ornamen.

Tata rambut para peragawati malam itu juga dibikin sesuai dengan era tersebut: disasak tinggi, dengan sedikit gelungan di belakang kepala, plus cat warna abu-abu pada bagian depan rambut mereka. Kalung mutiara dan stocking putih melengkapi tampilan itu. Menurut Seba, semuanya menggambarkan kerumitan cara berpakaian wanita di masa itu. “Saya kagum dengan kompleksitas semacam itu,” kata Seba.

A Ladys Portrait Koleksi Terbaru Sebastian Gunawan A Ladys Portrait Koleksi Terbaru Sebastian Gunawan

A Ladys Portrait Koleksi Terbaru Sebastian Gunawan

Dengan pakaian yang demikian ribet dengan penggunaan korset, dan bahkan susunan pakaian berlapis-lapis, wanita di era barok-rococo bisa tetap beraktivitas. “Sedangkan, kalau diaplikasikan pada masa kini, pakaian semacam itu bisa dibilang menjadi kostum,” ujar Seba.

Agar keseluruhan koleksinya itu tidak menjadi kostum pesta Halloween akhir Oktober nanti, Seba memberikan sentuhan modern. Dia menyesuaikannya dengan siluet pakaian 50-an, hingga 60-an. Bentuk rok menyerupai huruf A, blazer, ataupun qi pao yang selalu muncul dalam setiap peragaan Seba.

Yang lebih baru dalam koleksi musim ini adalah kemunculan jumpsuit, atau setelan blus dan celana berpotongan longgar dalam warna monokromatik. Motif hitam putih juga diolah Seba menjadi berbagai macam gaun dengan aksen pleats pada pinggang, ataupun diubah menjadi setelan. Keseluruhan set bernuansa hitam-putih ini, menjadi set yang paling menarik dalam koleksi Seba dan Christina.

Ini salah satu modelpakaian yang paling keren dan cukup fresh dari Seba-Christina. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151006.  *** Local Caption *** .

Ini salah satu modelpakaian yang paling keren dan cukup fresh dari Seba-Christina.
Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151006. *** Local Caption *** .

Selebihnya, anda bisa melihat Marie Antoinette dimana-mana dalam peragaan ini. Rasanya seperti menonton film Marie Antoinette karya Sofia Coppola. Lewat berbagai warna dan motif yang ditampilkan Seba, anda bisa membayangkan kehidupan Ratu Prancis yang mati dipenggal itu: singkat tapi tak sempurna.

Ballgown untuk koleksi Sebastian Sposa Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151006.  *** Local Caption *** .

Ballgown untuk koleksi Sebastian Sposa
Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151006. *** Local Caption *** .

Duet Sebastian Gunawan dan Christina Panarese. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151006.  *** Local Caption *** .

Duet Sebastian Gunawan dan Christina Panarese.
Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151006. *** Local Caption *** .

Pohon Surealis Biyan

Models and whimsical tree! Foto oleh Nurdiansah untuk Tempo

Models and whimsical tree! Foto oleh Nurdiansah untuk Tempo

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo Minggu, 21 Juni 2015.

Sebagian besar undangan peragaan busana Dream karya Biyan Wanaatmadja tidak menyangka kalau mereka bakal disambut oleh pohon besar yang tumbuh di tengah panggung. Pohon berwarna putih dengan daun kecil, batang kayu yang besar, serta dahan yang kokoh itu sepintas mengingatkan hadirin akan berbagai cerita soal pohon dan makhluk penunggunya. Entah pohon beringin dan kuntilanak, ataupun peri dari pohon elder, cerita semacam itu bisa ditemukan di berbagai belahan bumi.

Jadi, pokok kayu apa yang menjadi latar peragaan Biyan kali ini? “Sebenarnya sih saya tidak merujuk pada jenis pohon apa pun. It could be any kind of trees,” kata Biyan kepada Tempo usai peragaan busana yang digelar di Segara Ballroom, Hotel Dharmawangsa, Kamis, 11 Juni 2011. “Saya suka tanaman.”

Latar malam itu memang cocok dengan koleksi Biyan untuk musim semi 2016. Kali ini, Biyan mengambil inspirasi dari motif flora yang ditemukan pada keramik Belanda hingga dekorasi pada buku dongeng lama. Anda tentu bisa membayangkan dongeng karya Hans Christian Andersen yang mahsyur, dengan ilustrasi jadul yang halus. Contohnya, gambar tupai–yang dimunculkan dalam undangan–hingga motif hias flora yang disusun secara geometris bak kaca patri pada katedral gotik.

Pohon besar di tengah ruangan itu memang menjadi magnet dari pertunjukan. Dia menjadi pusat perhatian hadirin sekaligus salah satu titik para peragawati berpose bak tokoh-tokoh dongeng. Bayangkan tokoh peri pohon elder atau bahkan si putri jempol Thumbelina, mengenakan gaun dengan aplikasi kerancang dari Biyan.

Kerancang yang diolah Biyan, disusun hingga menyerupai bordir pada sebagian gaun dan setelan dalam warna gradasi putih, abu-abu, pastel, biru, hitam hingga emas. Selain itu, kerancang di tangan Biyan, tidak muncul seperti ornamen taplak meja atau ujung mukena. Biyan menyusunnya menjadi lapisan-lapisan yang tersusun bak bunga di tubuh peragawati yang mengenakannya, mirip seperti pakaian peri hutan.

Foto oleh Nurdiansah untuk Tempo.

Foto oleh Nurdiansah untuk Tempo.

Siluet pakaian berbentuk huruf ‘A’ tetap mendominasi koleksinya. Ini yang disebut oleh Biyan sebagai sesuatu yang ‘demure’ alias sopan. Hal lain yang pasti muncul dalam setiap koleksi Biyan adalah detail-detail kecil. Kali ini, seperti sulaman bunga serba simetris atau kadang berbentuk seperti pola ubin Belanda. Memang, tak ada baju yang seronok dengan belahan dada rendah ataupun rok super mini dalam koleksi Biyan.
Biyan, juga mengolah denim dan teknik lipit pisau dalam koleksi busana rancangannya. Lipit pisau yang dibikinnya tidak dikerjakan sembarangan. Itu dilakukan dengan melipit bahan satin atau duchess silk yang sebelumnya juga dipotong dengan sinar laser. Hasilnya, beberapa rok karyanya terlihat canggih dan bahkan surealis.
Sebagai pamungkas peragaan yang terdiri dari 100 baju itu, Biyan memunculkan koleksi gaun malam. Selain itu, adapula jaket panjang yang bertabur bordir ataupun gaun dengan bagian belakang yang sedikit terbuka seperti putri dalam kisah dongeng Eropa. Tapi, gaun Biyan minus strukrur-struktur tulang besar bak gaun era Victoria. Rancangan Biyan lebih chic, dan membuat perempuan yang mengenakannya seperti ratu peri.
Koleksi Biyan setiap musimnya memang seperti dongeng. Dia berulang dengan berbagai sentuhan segar meskipun kita tahu akhir ceritanya bahagia. Sebagian besar hadirin–yang datang mengenakan rancangan Biyan—bisa menebak kalau baju-baju itu bakal laku keras. “Ini koleksi yang bagus, dan pasti laku terjual,” kata Editor Mode Utama Prestige, Peter Zewet. Tentu, ini terasa seperti membaca buku cerita yang sama berulang-ulang. Awalnya anda sangat terkesan, lalu bosan di tengah-tengah, dan kembali merenung di penghujung cerita.

Mas Biyan saat finale Dream Spring Summer 2015/2016. Foto oleh Nurdiansah untuk Tempo.

Mas Biyan saat finale Dream Spring Summer 2015/2016. Foto oleh Nurdiansah untuk Tempo.

Peragaan malam itu juga menunjukkan kalau Biyan masih menetapkan standar tinggi untuk sebuah peragaan busana yang bagi sebagian penonton, benar-benar seperti mimpi. Pohon di tengah ruangan adalah bagian dari sajian impian tadi. Bagi Biyan, pohon sebenarnya punya makna khusus. “Pohon itu sebenarnya lambang kehidupan. Dia menandakan daur hidup,” ujar Biyan.

Cangkok Batik Balijava

Tulisan  ini dimuat di Koran Tempo Minggu edisi 6 September 2015.

“Sopo sing duwe karo aku? Sopo sing tresno karo aku?”

Finale 'Pasar Malam' by Denny Wirawan. Ini merupakan peragaan tunggal perdana Balijava. Foto : M Iqbal Ichsan untuk Tempo.

Teks dalam bahasa Jawa itu menggema menjadi lagu pengiring peragaan busana Pasar Malam karya perancang busana Denny Wirawan bekerjasama Djarum Bhakti Budaya. Artinya kurang lebih begini: “Siapa yang memiliki saya? Siapa yang sayang saya?” Musik karya Yovie Widianto itu menjadi salah satu elemen peragaan tunggal perdana label Balijava yang dibikinnya sejak 2008 lalu.

Denny dan juga Djarum Foundation selaku salah satu pendukung utama acara ini, memang ingin menyuguhkan peragaan yang akbar. Selain karena ini merupakan debut tuggal Balijava, peragaan ini dianggap sebagai salah satu upaya untuk memperkenalkan kembali batik Kudus yang dibina oleh Djarum sejak lima tahun terakhir. “Kami baru punya 50 perajin batik Kudus. Jujur saja, sangat sulit sekali waktu memulai program ini lima tahun silam,” ujar Miranti Serad Ginanjar selaku Pembina Galeria Batik Kudus saat memberikan keterangan pers di Galeri Indonesia Kaya, Kamis, 3 September 2015.

Miranti mengingat betapa susahnya menggerakkan kembali batik Kudus dari nol. Sebabnya, kota di timur Semarang itu tergolong sejahtera. “Pendapatan per kapita dan upah minimumnya pun sudah tinggi. Sehingga sebagian tidak terlalu ingin terjun membatik,” kata Miranti. Peralihan pebatik menjadi petani dan perajin kretek sebenarnya sudah terjadi beberapa generasi. “Ini terjadi paling tidak sejak 1950-an,” ujar Direktur Program Djarum Bhakti Budaya Renitasari Adrian. Itu sebabnya, batik Kudus kalah pamor ketimbang rokok kretek yang mulai diproduksi pertama kali sekitar tahun 1880-an.

Renitasari tak segan-segan menuntut standar yang tinggi untuk batik Kudus yang berada dalam naungannya. “Waktu tahun pertama Miranti menunjukkan hasil batiknya, saya secara jujur bilang kalau batik yang diproduksi pertama kali itu jelek,” kata dia. Toh, itu ternyata membikin para pebatik semakin bersemangat.

Foto oleh M. Iqbal Ichsan untuk Tempo

Foto oleh M. Iqbal Ichsan untuk Tempo

Kolaborasi dengan Denny pun, kata Renitasari, dirancang sebagai shock therapy bagi para perajin batik Kudus agar bisa membikin batik berkualitas. “Mas Denny bahkan sampai ikut serta untuk memilih motif dan mengeksplorasi motif-motif batik Kudus untuk koleksinya,” uajr dia.

Keterlibatan Denny dalam eksplorasi batik Kudus itu terlihat jelas dalam 80 tampilan yang disuguhkan malam itu. Dibuka dengan tari-tarian, Denny membagi peragaannya menjadi empat bagian. Pada bagian pertama, pakaian kasual yang menyasar anak muda, banyak ditampilkan. Batik cap dengan motif bunga Seruni dan Anggrek Cattleya yang masing-masing terpengaruh Cina dan Belanda mendominasi peragaan.

Siluet yang ditampilkan pun sebagian berupa bomber jacket atau varsity jacket untuk pria, ataupun sweater dengan digital print motif batik ataupun blus kimono dipadu dengan celana tujuh per delapan. “Saya ingin sesuatu yang lebih edgy dan bisa diminati oleh anak muda,” kata Denny saat ditanya soal alasannya memilih siluet bomber jacket.

Pada bagian kedua, motif batik diubah oleh Denny menjadi berbagai bordir halus. Motif yang digunakan antara lain Merak Njraping yang diperbesar. Tidak cuma itu, motif ini juga didampingi dengan motif lain seperti buketan dengan motif Tulip plus isen-isen atau isian pada gambar batik berupa motif beras kecer dalam warna sogan.Bagian ketiga peragaan diisi Denny dengan ‘tabrak lari’ motif. Lagi-lagi aplikasi bordir dipadukan dengan beragam motif batik. Misalkan, motif padma dengan latar beras kecer ditumpuk dengan motif Anggrek Cattleya pada beberapa rancangannya.

Sedangkan, pada bagian keempat, Denny menggabungkan bordir besar Seruni yang diaplikasikan pada gaun malam di atas batik dengan latar isen-isen beras kepyar. Denny juga berupaya untuk merekam pengaruh tiga budaya dalam batik Kudus. Penggunaan heavy beadding pada beberapa jaket miliknya misalkan, mengingatkan kita pada pakaian suku-suku bedouin dari Arab. Ada juga potongan kerah Shanghai yang mengingatkan kita pada pengaruh Cina.

Keseluruhan koleksi malam itu bisa dikatakan sebagai cangkokan yang gemilang. Formula yang digunakan Denny sebenarnya tepat. Memperbesar motif, dan mengeksplorasi isen-isen batik Kudus dalam cangkokan berbagai motif yang segar membuat batik Kudus yang sudah lama tidur bangkit lagi. Apalagi, isen-isen halus batik Kudus yang menjadi salah satu keistimewaan batik ini, berhasil dimunculkan. “Bagi saya, Denny memunculkan tampilan batik yang lebih humble lewat koleksi ini. Buat saya, itu sangat Indonesia,” ujar kritikus mode sekaligus Managing Editor Majalah Dewi, Syahmedi Dean kepada Tempo.

Baju renang ini menunjukkan isen-isen yang rinci. Ini juga menjadi salah satu ciri khas batik kudus yang dieksplorasi oleh Denny. Foto : M Iqbal Ichsan untuk Tempo.

Baju renang ini menunjukkan isen-isen yang rinci. Ini juga menjadi salah satu ciri khas batik kudus yang dieksplorasi oleh Denny. Foto : M Iqbal Ichsan untuk Tempo.

Sayangnya, ada dua kekurangan kecil yang sebenarnya bisa diatasi dengan lebih baik. Penataan gaya beberapa tampilan baju malam itu, terlihat kurang maksimal. Sebut saja deretan gaun malam di bagian terakhir yang diperagakan lengkap dengan cape panjang yang menjuntai. Pada beberapa tampilan, gaun yang berada di balik jaket panjang itu justru kurang menarik minat mereka yang menonton. Padahal, saat mantel itu dibuka, tampilannya bisa jadi lebih ‘menjual’.

Selain itu, tata cahaya dan musik terasa kurang maksimal dalam peragaan ini. Meskipun Yovie Widianto berhasil membikin musik orisinal bernuansa pentatonik Jawa yang konsisten sejak awal hingga akhir, tetap saja ada elemen yang dirasa kurang dalam musiknya. Musik peragaan busana sebenarnya mementingkan hitungan ritme. Saat ritmenya tidak pas, langkah para peragawan dan peragwati menjadi janggal. Tata cahaya pun terlihat bocor disana-sini. Padahal, setiap koleksi Denny itu menarik untuk dilihat dan ditunggu. Singkat kata, ini koleksi siap pakai yang membikin sebagian besar penonton malam itu merasa ‘tresno’, serta membikin mereka ingin ‘duwe’ seluruh baju karya Denny.

Hian Tjen Si Maksimalis

HianTjen4

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo Minggu, 23 Agustus 2015

Kepala sapi dan laba-laba raksasa menjadi ‘hidangan’ di atas meja panjang di Dian Ballroom, Hotel Raffles Jakarta. Roti yang ditinggalkan di atas meja dalam kastil penuh belukar itu menjadi tanda bahwa jamuan tak sempat selesai. Terdengar seperti film horor? Tenang saja, ini hanya bagian dari dekorasi peragaan busana desainer muda Hian Tjen. Untuk pertama kalinya, desainer lulusan ESMOD Jakarta itu menggelar peragaan busana tunggal pada Rabu, 19 Agustus 2015 lalu.

Dekorasi yang megah, serta gaun-gaun besar yang diukur dengan terperinci, memang menjadi salah satu ciri khas Hian Tjen. “Saya memang orang yang total. Gak mau setengah-setengah,” kata Hian kepada Tempo, sepekan sebelum peragaan digelar di butiknya di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Peragaan bertajuk Chateau Fleur, yang berarti Kastil Bunga dalam bahasa Prancis ini memang menjadi semacam pembuktian bahwa dia adalah salah satu desainer muda yang perlu diperhitungkan.

Pengakuan bahwa pria berusia 30 tahun in merupakan desainer berbakat sebenarnya sudah datang terlebih dahulu dari Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) yang mengajaknya bergabung dua bulan silam. IPMI merupakan wadah perancang mode yang beranggotakan nama-nama besar seperti Biyan, Didi Budiardjo, hingga Sebastian Gunawan. Desainer Tri Handoko, yang juga salah satu pengurus IPMI, langsung menelepon Hian untuk mengajaknya bergabung. “Gak lama dari telepon itu aku disuruh ikut sesi foto dengan member IPMI yang lain dan setelah itu dipublish di Instagram mereka,” kata Hian.

Kualitas Hian Tjen setara couture, tapi sulit untuk menyebutkannya dengan istilah yang sebenarnya dilindungi secara legal itu.

Kualitas Hian Tjen setara couture, tapi sulit untuk menyebutkannya dengan istilah yang sebenarnya dilindungi secara legal itu.

Sejak itu, Hian resmi menjadi anggota paling anyar dari IPMI. “Aku belum tahu apakah nanti ada inisiasinya atau enggak,” ujar dia. Hingga kini, Hian masih menjadi satu-satunya anggota baru IPMI pada 2015. Terpilih sebagai anggota IPMI, Hian bakal diminta untuk tampil minimal tiga kali setahun, sesuai persyaratan keanggotaan.

Peragaan Chateau Fleur sebenarnya hendak diadakan pada bulan Juni lalu. “Tapi, tanggal yang kupilih ternyata bertepatan dengan peragaan busana Mas Biyan,” kata Hian. Tak mau ambil resiko, dia pun memilih untuk menunda peragaannya hingga Agustus.

Jumlah busana yang hendak dirancang Hian pun sempat fluktuatif. Awalnya, dia hendak merancang 60 tampilan sebelum kemudian memotongnya menjadi 50. Tampilan yang dirancangnya kemudian naik lagi menjadi 57. “Ada masa dimana aku sedikit stuck dalam merancang. Tapi ternyata kemudian aku bisa bikin lebih banyak dari yang aku kira,” ujar dia.

Chateau Fleur, kata Hian, bercerita soal dongeng di dunia tanpa manusia dengan latar kastil yang telah diambil alih oleh alam. Tema itu pun diterjemahkan secara harfiah lewat dekorasi berbentuk kastil dan meja hidangan panjang yang ditumbuhi semak belukar serta laba-laba raksasa tadi. “Ini sebenarnya dongeng klasik yang bercerita soal sisi baik dan buruk,” kata dia.

Dua sisi dalam dongeng itu tentu resep lama yang seringkali digunakan sebagai tema peragaan busana. Apalagi Hian membikin pembagian karakter itu lewat dua macam tata rias serta membagi peragaannya menjadi dua sesi. Bagian pertama, Evil Stalked The Night dimulai oleh peragawati Drina Ciputra dengan gaun merah berkerah tinggi dari bordir yang menutupi dagu.

Koleksi gaun merahnya cocok untuk wanita-wanita yang berani, seksi, dan tidak takut menampakkan sisi jahat di dalam dirinya. Pada sesi ini, Hian mengeksplorasi teknik lipit pisau hingga bordir dan laser cut yang rinci. Sedangkan koleksi gaun hitamnya, mengingatkan kita pada karakter Maleficent pada dongeng Putri Tidur. Dia misterius, liar, dan penuh kekuatan. Permainan material bulu menjadi salah satu poin utama yang menguatkan kesan itu.

Pada bagian kedua yang diberi judul Love Will Bring The Joy, desainer yang memulai kariernya pada 2008 ini mengeksplorasi warna pastel, mulai dari abu-abu, biru muda, hingga emas dan putih. Tampilannya mengingatkan kita pada karakter-karakter peri dan putri dari berbagai dongeng. Sebut saja Thumbelina hingga Belle dari kisah Si Cantik dan Si Buruk Rupa. Mereka tampak rapuh dengan permainan bordir dan aplikasi laser cut yang disusun berlapis-lapis. Ada juga permainan aplikasi bulu unggas yang disusun membentuk sayap.

Puncak peragaan muncul bak dua sisi karakter Odette dan Odil dalam dongeng Danau Angsa. Si Angsa Putih muncul harfiah bak gabungan Ratu Angsa dan Ratu Es dari film The Chronicles of Narnia, sedangkan Si Angsa Hitam muncul dari perpaduan karakter Maleficent dan Ratu Malam dari lakon opera Die Zauberflote alias Suling Ajaib. Tentu, itu semua sesuai dengan inspirasi dongeng yang digalinya sejak dua tahun lalu.

Semua dongeng itu tentu cocok untuk klien Hian. Mereka merupakan bagian dari 0,01 persen penduduk Indonesia yang merancang hidupnya bak dongeng dan mampu membeli gaun-gaun indah. Chateau Fleur menjadi debut pembuktian yang menjanjikan bagi Hian meskipun sebagian besar siluet gaun itu tak baru-baru amat.

Hian Tjen on Chateau Fleur's Finale. Photo courtesy of Tempo.co

Hian Tjen on Chateau Fleur’s Finale. Photo courtesy of Tempo.co

Penggunaan label haute couture pada judul peragaan busana pun sebenarnya bisa dibilang pilihan yang agak berbahaya mengingat istilah couture dilindungi secara hukum di Prancis. Indonesia sendiri hingga kini tak punya badan khusus yang mengatur lisensi soal couture. Sebenarnya, ketimbang menggunakan istilah couture, lebih baik Hian menggunakan istilah adibusana untuk menghindari kemungkinan konsekuensi hukum yang bisa saja timbul. Di luar perkara itu, Hian harus bangga karena dia berhasil membuktikan dirinya sebagai desainer maksimalis.

Menafsir Tenun

Desainer Stephanus Hamy memang tak lagi bisa berbicara dengan lancar sejak terkena serangan stroke. Tapi, itu tidak menghentikan Hamy, begitu dia biasa dipanggil untuk membuat pakaian. Tadi malam, bersama Cita Tenun Indonesia, Hamy kembali menunjukkan desain karyanya pada khalayak di Jakarta Fashion and Food Festival 2015.

Serangan stroke tidak membuat Mas Hamy berhenti membikin pakaian. Kita tetap bis amelihat siluet 80-an yang khas pada karya-karyanya. (Credit: Iqbal/Tempo.co)

Serangan stroke tidak membuat Mas Hamy berhenti membikin pakaian. Kita tetap bis amelihat siluet 80-an yang khas pada karya-karyanya. (Credit: Iqbal/Tempo.co)

“Saya sudah beberapa kali menggarap tenun Bali,” kata Hamy di Hotel Harris Kelapa Gading, Selasa, 26 Mei 2015. Tentu dia berbicara dengan terbata-bata dan dibantu dengan beberapa anggota CTI lainnya. Serangan stroke tidak membuat Hamy berhenti membikin pakaian. Berdasarkan pengamatan Tempo, sejak Oktober tahun lalu, Hamy tetap aktif meluncurkan koleksi pakaian. Bahkan, keseluruhannya merupakan koleksi baru.

Hamy menjadi satu dari enam desainer yang dipilih oleh Cita Tenun Indonesia sebagai mitra mereka. “Kami memang terbiasa bekerjasama dengan para desainer untuk membawa tenun,” kata Ketua CTI Okke Rajasa. Selain Hamy, tampil pula Auguste Soesastro, Chossy Latu, Denny Wirawan, Ari Seputra, dan Priyo Oktaviano.

Masing-masing diminta untuk menerjemahkan satu macam tenun. “Ada yang dari Bali, Sambas, Sulawesi Tenggara, Baduy, Lombok dan Halaban di Sumatera Barat,” kata Okke. Tema yang diusung dalam peragaan bertajuk Jalinan Lungsi Pakan—yang sudah digelar keempat kalinya oleh CTI—itu juga sangat beragam.

Ari Seputra mengolah tenun Lombok menjadi pakaian siap pakai yang sepintas tidak terlihat seperti tenun. Kata Ari, butuh waktu untuk membujuk perajin membuat tenun mereka menjadi hitam-putih saja.

Ari Seputra mengolah tenun Lombok menjadi pakaian siap pakai yang sepintas tidak terlihat seperti tenun. Kata Ari, butuh waktu untuk membujuk perajin membuat tenun mereka menjadi hitam-putih saja.

Ari Seputra misalkan, memilih untuk mengusung tema Monochromethnic. “Saya beruntung karena akhirnya kali ini pengrajin tenun di Lombok bisa membuat tenun dengan warna hitam putih. Ini sesuai dengan keinginan saya yang selalu ingin membuat busana ready to wear,” kata Ari, yang kinii tengah sibuk mengurusi label pakaian siap pakai Major Minor.

Jika Ari sibuk dengan pret-a-porter—merujuk pada istilah Prancis untuk baju siap pakai—desainer Chossy Latu justru tampil dengan koleksinya yang terinspirasi dari film Sex and The City, namun diplesetkan menjadi Songket and The City. Dengan musik pembuka film bertokoh utama Carrie Bradshaw itu, Chossy mendandani para model dengan ciri glamor ala 1990-an. Ada perhiasan mutiara, korsace bunga besar—yang entah kenapa selalu ada hampir di seluruh koleksi Chossy—hingga topi tinggi bertabur bunga dan bulu burung. Tentu, agak bingung melihatnya karena sangat ramai dengan tambahan jaket dari songket Halaban.

Denny Wirawan terinspirasi dari keindahan bawah laut Wakatobi untuk membuat koleksi pakaian bertajuk Ocean Mood. Dia meminta para perajin—yang merupakan binaan bersama CTI dan Hivos—untuk membuat motif khusus. Itu sebabnya ada bintang laut dan biota lut lainnya yang dimunculkan dalam songket berwarna kuning. Songket itu, diubah menjadi jaket panjang oleh Denny.

Auguste diminta untuk membuat busana dari tenun Sambas oleh Cita Tenun Indonesia.

Auguste diminta untuk membuat busana dari tenun Sambas oleh Cita Tenun Indonesia.

Sedangkan Auguste Soesastro lewat label Kraton miliknya, justru menampilkan set pakaian yang berbeda dari peragaan mini yang juga digelar oleh CTI dan Pemerintah Kabupaten Sambas di Restoran Kembang Goela tiga pekanlalu. Auguste, membikin set pakaian dengan siluet minimalis dan jahitan yang rapi. Dia meminta khusus warna-warna dari para perajin seperti warna hijau emerald dan juga biru permata. “Tapi sebenarnya saya gak pernah ikut pelatihan dengan perajin di Sambas, saya kebetulan hanya diminta untuk membuat pakaian saja,” ujar Auguste kalem.

Ini menjadi peragaan busana serius pertama Priyo Oktaviano usai tudingan menjiplak karya Prabal Gurung akhir tahun lalu. Masih ada siluet koleksi Gallore di koleksi barunya. (Credit: Iqbal/ Tempo.co)

Ini menjadi peragaan busana serius pertama Priyo Oktaviano usai tudingan menjiplak karya Prabal Gurung akhir tahun lalu. Masih ada siluet koleksi Gallore di koleksi barunya. (Credit: Iqbal/ Tempo.co)

Yang menarik malam itu adalah kemunculan desainer Priyo Oktaviano. Setelah lama menghilang usai disebut menjiplak karya desainer Amerika Serikat Prabal Gurung, Priyo muncul dan menafsirkan tenun Baduy dalam tema bertajuk Gamematic of Baduy. “Saya banyak bermain dengan motif geometri dalam aplikasi tenun daerah ini,” kata Priyo. Bagaimana hasilnya? Desain Priyo lewat label Spous terlihat seperti pengulangan dari koleksi Gallore pada tahun 2013 lalu. Jika saat itu Priyo mengeksplorasi tapis Lampung, kali ini motif garis-garis tenun Baduy yang diubahnya menjadi susunan geometri.

Artikel aslinya bisa anda baca disini

Jika Desainer Terlalu Asyik Jualan…

Banyak dari anda yang bakal bertanya-tanya apa maksud dari judul saya. Saya tidak menafikan kalau desainer harus menjual pakaian karyanya. Itu harus. Saya justru kecewa kalau ada desainer yang bajunya bagus-bagus tapi gak bisa jualan. Desainer yang baik bukan hanya paham soal desain. Tapi dia juga harus tahu dan paham bagaimana stategi pemasaran yang baik, dan bagaimana membangun story dengan kliennya. Tapi, jangan sampai desainer terlalu asyik jualan.

Maksudnya, saking sibuknya anda jualan, kebanyakan desainer lupa untuk membikin desain baru. Contoh saja, desainer A sukses dengan siluet A-line, maka dia selalu bikin siluet tersebut selama berpuluh-puluh tahun lamanya, gak pernah ganti. Desainer B, sibuk dengan permainan pleats. Setiap tahun selalu bikin permainan pleats-pleats-pleats. Desainer C sibuk dengan permainan baju transformer, alias baju-baju yang bisa diubah-ubah, mulai jadi rok, jadi bolero dan jadi rok lagi.

Iya sih, itu ciri khas anda sebagai desainer. Sah-sah saja untuk mengeksplorasi itu habis-habisan. Tapi, bayangkan jika anda duduk dan menonton show anda sendiri selama beberapa tahun terakhir dan mulai bisa menebak pola dalam peragaan busana anda? Pasti anda akan bilang hal berikut: “Pasti begini lagi deh…” “Abis ini pasti keluar baju yang ini nih…” “Kok kelihatan sama semua ya…” “Gitu-gitu aja nih bajunya sepanjang show. Boring…” “Abis ini bajunya pasti diubah jadi begitu bentuknya..” atau barangkali anda bakal menguap menahan kantuk di bangku penonton, dan paling parah anda sengaja ngabur di tengah show karena bosan. Percaya deh, sebagian penonton setia anda–mau yang duduk di row paling depan hingga belakang–pasti punya perasaan tersebut. Mungkin mereka gak mau bilang demi menjaga perasaan anda saja.

Sebenarnya, sebagian penonton anda kangen sekali untuk diberi sedikit kejutan. Ya, kurang lebih seperti apa yang dilakukan Karl Lagerfeld pada Chanel dalam setiap peragaannya. Selalu ada blazer dari tweed di sana, tapi pendekatannya berbeda-beda dan bikin mereka yang melihat baju itu ya geleng-geleng sendiri atas inspirasi yang ada-ada aja. (Inget show supermarket? atau bahkan coffee shop?) Cerita dan koleksinya selalu beda. Meskipun tetap ada resep lama di dalamnya.

Mungkin anda sebagai desainer terlalu takut untuk mengeksplorasi siluet baru atau desain baru karena takut gak laku terjual. Anda mungkin terlalu takut untuk mengambil resiko tersebut. Tapi, bukankah sebagai desainer anda seharusnya merancang ? Apa anda sudah merancang bentuk-bentuk baru kalau dalam tiga tahun terakhir 60% dari look yang anda tampilkan mirip-mirip saja?

Kami yang duduk di bangku penonton percaya, kalau anda dan tim anda sebenarnya sangat handal. Kami percaya penuh kalau akan selalu ada pembaruan di setiap tahun. Kami selalu datang dengan harapan bisa melihat karakter kuat anda berpadu dengan desain-desain segar yang tidak pernah kami lihat sebelumnya.

Sayangnya, di Indonesia, masih sedikit desainer yang bisa melakukan hal itu. Saya masih bisa menghitungnya dengan jari. Sisanya, kebanyakan sibuk jualan, sampai lupa kalau hakikat seorang desainer adalah membikin desain.

Saya pernah sedikit ditegur oleh seorang jurnalis mode lainnya hanya karena saya menyebut desainer A begitu-begitu saja desainnya dan cenderung malas bereksplorasi. “Ya gak bisa dong. Ini si A, ya dia pasti bakal begitu karakternya,” kata jurnalis tadi. Tapi, rupanya saya gak sendirian, beberapa orang lain juga punya pikiran serupa dengan saya. “Menurut gue sih koleksi si A yang ini agak boring ya. Tadi gue ngantuk karena musiknya diulang-ulang gitu terus.”

Padahal, kalau anda memang sudah menjadi desainer besar, saya yakin kok pasar akan menyukai apapun yang anda bikin. Asalkan itu bukan hasil jiplakan. 😀