Pohon Surealis Biyan
Tulisan ini dimuat di Koran Tempo Minggu, 21 Juni 2015.
Sebagian besar undangan peragaan busana Dream karya Biyan Wanaatmadja tidak menyangka kalau mereka bakal disambut oleh pohon besar yang tumbuh di tengah panggung. Pohon berwarna putih dengan daun kecil, batang kayu yang besar, serta dahan yang kokoh itu sepintas mengingatkan hadirin akan berbagai cerita soal pohon dan makhluk penunggunya. Entah pohon beringin dan kuntilanak, ataupun peri dari pohon elder, cerita semacam itu bisa ditemukan di berbagai belahan bumi.
Jadi, pokok kayu apa yang menjadi latar peragaan Biyan kali ini? “Sebenarnya sih saya tidak merujuk pada jenis pohon apa pun. It could be any kind of trees,” kata Biyan kepada Tempo usai peragaan busana yang digelar di Segara Ballroom, Hotel Dharmawangsa, Kamis, 11 Juni 2011. “Saya suka tanaman.”
Latar malam itu memang cocok dengan koleksi Biyan untuk musim semi 2016. Kali ini, Biyan mengambil inspirasi dari motif flora yang ditemukan pada keramik Belanda hingga dekorasi pada buku dongeng lama. Anda tentu bisa membayangkan dongeng karya Hans Christian Andersen yang mahsyur, dengan ilustrasi jadul yang halus. Contohnya, gambar tupai–yang dimunculkan dalam undangan–hingga motif hias flora yang disusun secara geometris bak kaca patri pada katedral gotik.
Pohon besar di tengah ruangan itu memang menjadi magnet dari pertunjukan. Dia menjadi pusat perhatian hadirin sekaligus salah satu titik para peragawati berpose bak tokoh-tokoh dongeng. Bayangkan tokoh peri pohon elder atau bahkan si putri jempol Thumbelina, mengenakan gaun dengan aplikasi kerancang dari Biyan.
Kerancang yang diolah Biyan, disusun hingga menyerupai bordir pada sebagian gaun dan setelan dalam warna gradasi putih, abu-abu, pastel, biru, hitam hingga emas. Selain itu, kerancang di tangan Biyan, tidak muncul seperti ornamen taplak meja atau ujung mukena. Biyan menyusunnya menjadi lapisan-lapisan yang tersusun bak bunga di tubuh peragawati yang mengenakannya, mirip seperti pakaian peri hutan.
Siluet pakaian berbentuk huruf ‘A’ tetap mendominasi koleksinya. Ini yang disebut oleh Biyan sebagai sesuatu yang ‘demure’ alias sopan. Hal lain yang pasti muncul dalam setiap koleksi Biyan adalah detail-detail kecil. Kali ini, seperti sulaman bunga serba simetris atau kadang berbentuk seperti pola ubin Belanda. Memang, tak ada baju yang seronok dengan belahan dada rendah ataupun rok super mini dalam koleksi Biyan.
Biyan, juga mengolah denim dan teknik lipit pisau dalam koleksi busana rancangannya. Lipit pisau yang dibikinnya tidak dikerjakan sembarangan. Itu dilakukan dengan melipit bahan satin atau duchess silk yang sebelumnya juga dipotong dengan sinar laser. Hasilnya, beberapa rok karyanya terlihat canggih dan bahkan surealis.
Sebagai pamungkas peragaan yang terdiri dari 100 baju itu, Biyan memunculkan koleksi gaun malam. Selain itu, adapula jaket panjang yang bertabur bordir ataupun gaun dengan bagian belakang yang sedikit terbuka seperti putri dalam kisah dongeng Eropa. Tapi, gaun Biyan minus strukrur-struktur tulang besar bak gaun era Victoria. Rancangan Biyan lebih chic, dan membuat perempuan yang mengenakannya seperti ratu peri.
Koleksi Biyan setiap musimnya memang seperti dongeng. Dia berulang dengan berbagai sentuhan segar meskipun kita tahu akhir ceritanya bahagia. Sebagian besar hadirin–yang datang mengenakan rancangan Biyan—bisa menebak kalau baju-baju itu bakal laku keras. “Ini koleksi yang bagus, dan pasti laku terjual,” kata Editor Mode Utama Prestige, Peter Zewet. Tentu, ini terasa seperti membaca buku cerita yang sama berulang-ulang. Awalnya anda sangat terkesan, lalu bosan di tengah-tengah, dan kembali merenung di penghujung cerita.
Peragaan malam itu juga menunjukkan kalau Biyan masih menetapkan standar tinggi untuk sebuah peragaan busana yang bagi sebagian penonton, benar-benar seperti mimpi. Pohon di tengah ruangan adalah bagian dari sajian impian tadi. Bagi Biyan, pohon sebenarnya punya makna khusus. “Pohon itu sebenarnya lambang kehidupan. Dia menandakan daur hidup,” ujar Biyan.