Geger Plagiasi
This article is originally published on Koran Tempo, Sunday, November 16th, 2014. You could check the details about DFK curation from CCO Majalah Dewi Ni Luh Sekar on this article. So, sorry i did not provide the English version. Will try to do a translation soon:
Pekan lalu dunia mode Indonesia digegerkan oleh tuduhan plagiarisme. Sekadar terinspirasi atau mencontek?
Desainer Priyo Oktaviano masih sibuk mengobrol dan meneguk champagne Moet Chandon selepas pergelaran pamungkas Jakarta Fashion Week 2015, Jumat, 7 November lalu. “Destinasinya Afrika,” kata Priyo saat ditanya ihwal inspirasi koleksinya malam itu. Priyo baru saja dinobatkan kembali sebagai satu dari lima kesatria mode dalam acara prestisius Dewi Fashion Knights 2014. Tahun ini, DFK mengambil tema perjalanan ke lima penjuru dunia sebagai benang merah koleksi para kesatria mode. Priyo terpilih bersama desainer Auguste Soesastro, Sapto Djojokartiko, label busana muslim Nur Zahra, dan desainer muda Vinora Ng. Priyo sebagai langganan pemegang gelar. Selain tahun ini, dia pernah menjadi kesatria mode versi majalah Dewi pada 2010 dan 2013.
African Blu milik Priyo sebenarnya tidak tampak seperti terinspirasi oleh Afrika. Dia lebih terlihat seperti gadis-gadis Eskimo yang mengarungi Samudra Atlantik, lengkap dengan bulu unggas dan panah yang menancap di hidung. Sehari setelah pesta usai, empat foto dari koleksi African Blu di akun Instagram nyinyirfashion membuat geger jagat mode.
Akun ini kerap menjadi pembicaraan di kalangan penggemar mode, karena sering menyandingkan gambar-gambar karya para desainer lokal dengan desainer mancanegara. Secara visual, nyinyirfashion memancing kita untuk melihat kesamaan di antara karya para desainer yang disandingkan. Akun anonim itu tidak menyatakan bahwa ada plagiarisme di balik kesamaan itu. Tapi kita akan paham maksud dari penyandingan tersebut.
Karya dari desainer legendaris Biyan hingga desainer muda Felicia Budi pernah dibandingkan dengan berbagai desainer luar negeri. Tidak melulu desainer Indonesia yang “dituduh” menjiplak karya desainer luar. Kadang yang terjadi justru sebaliknya, koleksi desainer luar negeri mirip dengan karya desainer Indonesia yang dikeluarkan lebih dulu.
Kegegeran pekan lalu terjadi karena nyinyirfashion menampilkan 16 karya Priyo Oktaviano dari perhelatan DFK yang amat mirip dengan 16 karya desainer Amerika Serikat keturunan Nepal, Prabal Gurung. Tidak perlu mata penggila mode yang jeli untuk mengetahui kemiripan desain African Blu milik Priyo dan koleksi musim gugur Prabal Gurung, yang diluncurkan Februari 2014 lalu.
Permainan garis hem dan siluet pakaian terlihat sangat identik. Hanya warna dan permainan aplikasi yang membedakan keduanya. Jika Prabal—desainer yang lahir di Singapura—menggunakan palet warna merah, Priyo justru menggunakan warna biru. Begitu juga pada material yang digunakan. Priyo memakai lurik sebagai aksen serta bahan sheer yang mirip tirai pada bagian rok karyanya.
Empat hari setelah foto itu mulai menyebar dan menjadi bahan perbincangan, Dewi mengumumkan pengunduran diri Priyo sebagai salah satu desainer DFK. “Dengan pengunduran diri Priyo, yang bersangkutan dan karyanya bukan lagi menjadi bagian Dewi Fashion Knights 2014,” kata Chief Community Officer Dewi, Ni Luh Sekar, dalam surat elektroniknya kepada Tempo.
“Pengunduran diri Priyo Oktaviano baik untuk industri fashion pada umumnya dan DFK pada khususnya. Kita juga bisa melihat kronologi peristiwa seputar masalah ini,” demikian keterangan tertulis Ni Luh. Dia juga menyatakan bahwa Dewi sempat mendatangi Priyo sebelum keputusan mundur itu akhirnya diambil.
Terkait dengan masalah kurasi, Ni Luh juga mengatakan pihaknya selalu memantau karya lima desainer sejak awal terpilih. “Desainer melakukan presentasi konsep, termasuk sketsa dan moodboard, yang biasanya menyinggung sumber inspirasi dan referensi,” ujar dia. Ni Luh menyatakan Dewi juga memantau perkembangan karya para desainer dalam proses kreatifnya. “Sampai pada tahap itu, kami tidak melihat indikasi akan adanya persoalan dalam koleksi semua desainer DFK,” kata Ni Luh. Dewi dan Jakarta Fashion Week, kata Ni Luh, sangat menentang plagiarisme.
Priyo sendiri tidak mau banyak berkomentar soal pengunduran dirinya. “Ini sudah menjadi keputusan saya mengundurkan diri dari DFK,” kata dia melalui pesan pendek kepada Tempo. Saat ditanya lebih jauh tentang tuduhan penjiplakan, dia hanya menjawab singkat: “Terima kasih, Mas. All the best.”
Ini bukan kali pertama dunia mode Indonesia geger oleh isu plagiarisme. Sebelumnya, desainer muda Patrick Owen juga pernah diterpa isu serupa. Dia dinilai meniru karya Givenchy oleh salah seorang jurnalis mode senior. Tulisan yang memantik reaksi itu kemudian tidak lagi bisa diakses, bahkan dihapus. Tapi foto salah satu koleksi Patrick Owen juga dimuat di akun Instagram nyinyirfashion. Patrick membantah dugaan bahwa dirinya meniru Givenchy. “Kami sama sekali tidak ada niatan ke arah sana,” kata dia saat ditemui di JFW 2015, pekan lalu. Dia berkeras tidak meniru karya desainer mana pun.
Tanpa menyinggung soal plagiarisme, perancang Oscar Lawalata menyatakan dunia mode Indonesia membutuhkan badan pengatur yang mumpuni. “Kita butuh satu badan yang mengatur soal mode. Bagaimana dan seperti apa seharusnya mode Indonesia itu,” ujar dia. Mungkin, melalui badan seperti ini, masalah tuduhan plagiarisme bisa diselesaikan. Badan ini bisa memberi sanksi jika desainer tertentu benar-benar melakukan plagiarisme, atau membersihkan nama sang desainer dari tuduhan jika tak melakukannya.