Urban Retro ala Biyan

r_WA201511121009(1)

Boho on 70’s vibe. There are also an image of Frida Kahlo on it. A very subtle empowered woman, and really rebellious. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo.20151112

 

Panel-panel kayu berwarna cokelat melapisi dinding Nusantara Ballroom Hotel Dharmawangsa. Panel itu dibangun berjarak dengan dinding asli ballroom yang sudah dilapisi kain berwarna hitam. Biyan Wanaatmadja, desainer label Studio 133, ingin membawa seluruh undangan yang menonton peragaan busananya malam itu ke sebuah dermaga di pelabuhan, tanpa aroma laut. Eksotis, tapi juga urban.

Tahun ini, label Studio 133 memasuki masa tiga dasawarsa. Label sekunder dari Biyan ini konsisten melakukan eksplorasi terhadap pakaian urban, tanpa meninggalkan identitas Indonesia. “Saya suka sekali memadukan unsur modern dengan tradisional,” kata Biyan sebelum peragaan digelar pada Rabu, 11 November lalu. Menurut dia, membikin pakaian dengan cita rasa lokal, tapi dengan tetap tampilan modern, merupakan tantangan yang menarik untuk diselami.

Jangan bayangkan Biyan menerjemahkan dualisme modern yang tradisional itu mentah-mentah. Sebaliknya, dia justru memilih untuk menginterpretasikannya secara halus. Kain ikat asal Uzbekistan, yang menjadi salah satu unsur koleksi ini, misalnya, tidak dimunculkan secara gamblang. Motif pada kain ikat itu dicampurkan juga dengan motif-motif lokal Indonesia yang tentu akrab di mata, mulai dari motif pada beragam batik hingga songket.

Urusan bentuk, Biyan juga mengeksplorasi siluet pakaian tradisional. Misalnya, bentuk kebaya yang diberi sentuhan bahu berbentuk boxy agar terlihat lebih muda. Dia sengaja tidak menampilkan bentuk kebaya secara harfiah. “Bagi saya, kebaya atau pakaian tradisional lainnya itu harus dibiarkan seperti apa adanya,” kata Biyan. Jadi, desainer tidak perlu mengutak-atik bentuk dasar kebaya dengan aplikasi atau macam-macam ornamen sehingga menjadi kebaya yang terlalu ramai. “Kita perlu melestarikan kostum nasional yang lebih jelas. Semisal Jepang dengan kimono yang bentuknya tetap ajek dan bisa menjadi identitas saat dilihat,” kata Biyan.

picture_1_0

Credit photo on @dominiquediyose’s Instagram. As appear on Style.com Indonesia.

Melalui lini ini, Biyan memang terlihat lebih banyak bermain dalam ragam desain. Siluet A-line yang khas, dan sekaligus melambangkan sisi romantik Biyan, memang tetap muncul. Tapi semua dibikin dengan permainan siluet urban. Itu sebabnya, setelan blus dengan celana palazzo, hingga sweater dengan detail ikat berwarna monokromatik, muncul dalam koleksi ini.

Keseluruhan peragaan mode itu sebenarnya berkisah soal satu hari yang panjang bagi kaum urban. Dimulai saat pagi hari dengan iringan musik jazz dan sedikit swing, pakaian bersiluet longgar dan warna-warna cerah, atau kaftan pada koleksi pakaian pria bisa menjadi pilihan. Jangan bayangkan juga anda berada di Jakarta dengan pakaian-pakaian itu. Mood koleksi ini adalah “resor versus urban”. Bisa jadi, ini adalah pakaian-pakaian yang cocok untuk dipakai berlibur ke Maroko.

Biyan juga menyadari bahwa, pada siang hari, sebagian wanita menginginkan warna yang sedikit cerah, ataupun motif yang lebih menyala. Itu ditunjukkan dengan gaun berbahan dasar sutra dengan motif ikat yang diprint besar-besar dan dijahit sedikit miring sehingga tampak asimetris. Ada juga sejumlah jaket dengan detail motif bordir daun semanggi berhelai empat.

Sedangkan untuk sore hingga malam hari, Studio 133 menyediakan pilihan gaun cocktail ataupun rok dengan aksen siluet lonceng hingga gaun penuh bordir yang diberi taburan akrilik menyerupai kerang. Koleksi pakaian malam ini punya ciri khas ala Biyan yang kaya detail.

Era 1970-an tampaknya menjadi inspirasi utama dalam koleksi Studio 133 kali ini. Berbagai macam motif dalam warna terang yang dibikin menjadi kolase serta permainan motif grafis yang kaya menandakan era itu. Belum lagi kemunculan celana palazzo serta siluet longgar pada sebagian blus dan jaket yang muncul di antara 100 tampilan malam itu.

Gelungan rambut di atas kepala lengkap dengan lilitan kain dan anting besar pada para peragawati malam itu mengingatkan kita akan tampilan Frida Kahlo, pelukis wanita asal Meksiko yang menjadi ikon pada era 1930 hingga 1950-an. Bedanya, Frida Kahlo yang ini hidup mapan dan tak sakit-sakitan seperti Kahlo semasa hidupnya. Ini Kahlo yang punya cukup uang untuk berlibur ke Maroko dan membeli baju seharga jutaan rupiah.

Yang jelas, dengan kliennya yang didominasi kelas menengah atas Indonesia, Studio 133 berhasil membuktikan eksistensinya selama 30 tahun. Label sekunder ini juga sukses menjadi jembatan Biyan kepada klien yang lebih kosmopolitan, atau dalam bahasa Biyan dalam konferensi pers sore itu sebelum peragaan: “Mereka yang lebih muda.”

r_WA201511120993(1)

Kazakhstan is a part of main mood from Studio 133. Resort but also very urban. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo.20151112

*tulisan ini dimuat di Koran Tempo edisi akhir pekan, pada Sabtu, 28 November 2015*

Tinggalkan komentar