Setiap tahunnya, Jakarta Fashion Week 2016 menghadirkan desainer-desainer muda pendatang baru. Mereka, diberi panggung di Indonesia Fashion Forward (IFF). Ini merupakan program inkubator kerja sama JFW, Badan Ekonomi Kreatif, dan British Council. Sepuluh desainer anyar tersebut menyasar konsumen yang berbeda-beda. Sebagian juga mengembangkan labelnya ke lini terbatas. Shopatvelvet, riamiranda, dan Alex[a]lexa adalah tiga label yang ditantang untuk membuat produk premium.
OCTOBER 24: A model walks the runway of Indonesia Fashion Forward featuring Spring Summer 2016 collection by By Velvet during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty/JFW2016/Femina)
“Label yang kami luncurkan di JFW ini berbeda dengan shopatvelvet,” ujar Randy W. Sastra, desainer byvelvet, dalam JFW 2016 yang berlangsung di Senayan City. Shopatvelvet, dia melanjutkan, merupakan label yang sudah diproduksi secara massal. Dalam satu bulan, mereka bisa memproduksi hingga ribuan potong pakaian. Harga shopatvelvet yang digarap Randy bersama istrinya, Yessi Kusumo, biasanya berkisar pada ratusan ribu rupiah. Sedangkan kisaran harga byvelvet sudah jutaan.
Di label baru tersebut, Randy dan Yessi menggunakan material berbeda. “Lebih banyak bahan yang dekat dengan alam dan juga material kaya tekstur,” ujar Yessi. Ini sesuai dengan tema koleksi perdana byvelvet yang mengusung tema arsitektur modern.
Farnsworth House karya arsitek Ludwig Mies van Rohe diterjemahkan dengan potongan pakaian yang bersih serta sedikit aksen asimetris pada konstruksi pakaian. Yang perlu diacungi jempol dari byvelvet adalah pemilihan palet warnanya yang konsisten. Mulai dari warna krem, hijau pandan, hingga merah bata. Tapi byvelvet masih perlu membuktikan diri dalam eksplorasi desain yang lebih beragam pada musim berikutnya.
Desainer busana muslim Ria Miranda kali ini memilih untuk tampil beda lewat label riamiranda SIGNATURE. “Saya ingin membikin koleksi yang lebih mature,” kata Ria kepada Tempo.
Menurut Ria, secara perlahan dia mulai meninggalkan gaya shabby chic. Ini merupakan nama aksen desain interior yang kental dengan nuansa pastel dan warna pupus yang sebelumnya kerap jadi andalan Ria. “Saat ini, banyak sekali orang yang mengambil inspirasi gaya shabby chic,” kata Ria.
Warna pastel serta palet pupus sebenarnya tetap muncul dalam koleksinya kali ini. Tapi Ria memadukannya dengan motif songket yang diaplikasikan dengan bordir, serta permainan pleats pada hijabnya. Hasilnya berupa tampilan super-feminin dan juga klasik.
Sedangkan Alex[a]lexa ditantang untuk membikin label premium. Dengan label SOE Jakarta, pasangan Monique Soeriatmadja dan Sandy Soeriatmadja mengangkat tema olahraga dengan sentuhan yang chic.
Sabuk karate, jaket baseball, hingga topi pet menjadi penanda inspirasi itu. Uniknya, tafsiran tersebut tidak terlihat harfiah pada beragam tampilannya. Yang muncul adalah koleksi dengan gaya anak muda urban, dengan sedikit sentuhan humor.
In love with this piece by Sean & Sheila! (Getty/Femina/JFW2016)
Selain tiga label itu, sejumlah besar label cukup sukses dengan debutnya dalam IFF, di antaranya Sean & Sheila, Lekat, dan IKYK. Koleksi yang terkonsep rapi, serta detail produk yang cukup bersih, sukses mencuri perhatian banyak pemerhati mode Indonesia. Sedangkan label Lotuz, yang kini digawangi pengusaha muda Michelle Surjaputra dan penata gaya Kesya Moedjenan, juga berhasil dengan debut koleksinya.
Namun tidak semua label berhasil memanfaatkan momentum. Anthony Bachtiar, D’Leia, dan Ellyhan gagal menerjemahkan koleksi mereka untuk masuk dalam tren. Ketimbang merancang produk dengan desain yang segar dan maju ke depan—sesuai dengan nama program “Forward”—tiga label ini terjebak pada kerajinan tangan belaka.
Secara estetika, kreasi mereka menarik. Namun lebih dihargai sebagai craft ketimbang produk mode. Jika ingin bertahan dalam program, tiga label ini harus berani melakukan pendekatan radikal dalam desain produknya. Ini penting untuk kredibilitas kurasi program, yang punya seabrek alumnus sukses.
SUBKHAN J. HAKIM
Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 1 November 2015.
***
Personal review for IFF 2015:
Angkatan yang agak membingungkan, sedikit penuh drama dan maju-mundur. Dari sepuluh desainer dan label, banyak yang sukses dengan koleksi yang menarik, tapi ada juga yang sepertinya bingung mau apa dengan program ini?
Another great piece from Sean & Sheila. (Getty/JFW2016/Femina)
Berikut ini bahasan singkatnya:
-Sean & Sheila
Bisa dibilang sebagai salah satu yang terkuat di IFF 2015. Sebenarnya Sean and Sheila, sejak debutnya akhir 2014, memang sudah menunjukkan kalau mereka adalah desainer muda yang layak diperhitungkan. Sean Loh dan Sheila Agatha, merupakan alumnus kompetisi Harpers Bazaar Asia’s Next Generation Fashion Designer Award. Sheila Agatha merupakan pemenang asal Indonesia, sedangkan Sean Loh merupakan jawara dari Malaysia. Keduanya, dulu berkuliah di kampus yang sama, dan kemudian bergabung membikin label Sean & Sheila. Garis desain utama mereka adalah luxury wear for Asian people. Itu sebabnya siluet berupa kimono, seringkali muncul dalam koleksi mereka. Jika pada awal tahun ini mereka terinspirasi Butoh. Untuk tahun depan, mereka bergeser kepada Gustav Klimt.
Beberapa karya Klimt yang sedikit gelap, dan kebanyakan erotis pada masanya–sebenarnya lukisan Klimt lebih mirip versi modern dan duniawi dari lukisan katakombe–menjadi inspirasi mereka. Karya Klimt yang bertajuk The Kiss, menjadi salah satu inspirasi utama mereka kali ini. Hasilnya? Ada fusi yang menarik antara timur dan barat di dalam koleksi mereka. Tak ada siluet yang provokatif, tapi percayalah detail mereka sangat rapi. Begitu juga dengan konsep koleksi yang konsisten dan jauh dari kata ngawur. Secara kualitas, saya harus mengakui mereka salah satu yang terbaik musim ini.
Hanya saja, Sean & Sheila punya pekerjaan rumah yang sangat besar. Dengan kualitas yang mumpuni–dan juga kisaran harga yang lebih tinggi ketimbang desainer lain–mereka harus bisa memasarkan produknya lebih keras lagi. Mereka butuh tim (marketing dan public relation) yang bisa mendukung bisnis mereka secara strategis. Jika masalah itu bisa terpecahkan, Sean & Sheila bisa jadi bakal menuai sukses dalam waktu dekat.
-Byvelvet (Shopatvelvet)
Tantangan terbesar Yessi Kusumo dan Randy W Sastra memang mengangkat label massal shopatvelvet, menjadi label premium byvelvet. Lewat shopatvelvet, sebenarnya mereka sudah punya modal yang kuat berupa tim yang solid (beserta kapasitas produksi yang lebih dari cukup untuk memenuhi standar ritel) hingga tim kehumasan dan pemasaran yang cukup mapan. Secara bisnis, label ini sudah matang untuk bertransformasi.
Mengusung inspirasi arsitektur modern dan kecenderungan pada minimalisme, banyak orang yang masih kecewa dengan permainan desain dari byvelvet. Meskipun palet warna mereka indah, serta konsepnya sangat kuat, masih banyak suara-suara yang mempertanyakan, sejauh apa nilai lebih desain byvelvet? Permainan asimetris dan sedikit dekonstruktif, serta material yang jauh lebih baik dari shopatvelvet tampaknya belum banyak diterima sebagai nilai lebih.
Masih banyak pertanyaan semacam: “Kalau gue bisa beli baju yang mirip-mirip aja dengan label aslinya, kenapa gue harus beli yang premiumnya?”. Eksplorasi desain pada lini premium ini tampaknya masih harus digarap dengan lebih serius bagi byvelvet. Tapi, bagi saya, palet warna mereka musim ini, merupakan salah satu yang paling menyenangkan untuk diliat di IFF 2015.
-Lotuz
Secara pribadi, saya sering mencerca Lotuz sejak debut mereka pertama kali. Bahkan saya tak segan menyebut baju mereka penuh kerut-kerut mengerikan, missed-fit, dan overpriced pada peluncuran label ini tahun lalu. Permainan brokat, serta warna yang tiba-tiba terlalu vibrant juga kadang terasa sangat mengganggu.
Untungnya, Lotuz berubah jauh lebih baik. Rupanya, ada perubahan komposisi Direktur Kreatif dari Yosep Sinudarsono–desainer muda asal Semarang–ke Kesya Moedjenan yang lebih dikenal sebagai fashion stylist. Perubahan yang sebenarnya terjadi kurang dari enam bulan itu, berhasil membawa banyak ‘hal positif’ pada label ini.
Permainan teknik laser cut, siluet penuh struktur dekonstruktif menjadi salah satu hal positif tadi. Bordir, memang masih ada. Tapi ditekan ke arah yang lebih komikal berupa ilustrasi mata, lengkap dengan alis dan bulu mata. Itu menjadi detail yang menarik, tapi sayangnya kurang tergarap dengan rapi. Untungnya, Lotuz sudah berada pada ‘jalan yang benar’ dengan desain yang matang. Saya harus mengucapkan selamat atas hasil kerja keras Michelle Surjaputra dan Kesya kali ini. Yes, it is close enough to luxury ready to wear.
-Lekat
Sejak kemunculannya di JFW tahun lalu, Lekat memang sudah banyak menarik perhatian. Konsep tenun baduy yang diusung, sukses menarik minat banyak orang untuk memakainya. Begitu juga dengan tahun ini. Dengan tema ‘The Eye Has To Travel’, desainer Amanda I Lestari, cukup berhasil menafsirkan kesan 1970-an lewat koleksinya kali ini.
Lewat permainan ilustrasi yang diaplikasikan pada tenun baduy–yang tentu butuh waktu berbulan-bulan dalam pengerjaannya–kesan 70-an itu muncul. Meskipun koleksinya dibikin dari tenun, Amanda sukses mengubahnya menjadi pakaian siap pakai. Sayangnya, ada sedikit permasalahan penataan gaya pakaian-pakaian ini sebagai ansambel. Akibatnya, banyak dahi yang berkerut ataupun wajah yang berjengit saat melihat presentasi koleksinya.
Bagi mereka yang belum mengenal Lekat, secara otomatis bakal menganggap aneh pakaian yang ditawarkan. Tapi, rasa kagum bakal muncul usai mengetahui material utama Lekat adalah tenun baduy. Amanda masih perlu untuk mengeksplorasi desain Lekat lebih jauh lagi. Bagaimana membikin masyarakat awam bisa menghargai Lekat secara langsung tanpa perlu tahu kalau material utama mereka tenun baduy adalah salah satu tantangan yang harus dijawab oleh Amanda.
-SOE Jakarta (alex[a]lexa)
Sama seperti byvelvet, alex[a]lexa ditantang untuk naik kelas lewat produk premium. Dengan pasar alex[a]lexa yang sudah cukup matang, SOE perlu untuk membikin debut yang menarik. Rupanya, debut Monique dan Sandy Soeriatmadja cukup menjanjikan sebagai label baru.
Inspirasi sporty look, lewat sabuk karate yang diubah menjadi aksen pada beberapa bagian pakaian, atau varsity jacket yang diubah dengan sentuhan yang sedikit quirky, bisa menarik minat banyak orang. Ada sedikit unsur humor yang muncul lewat penafsiran tema itu. Hasilnya, SOE Jakarta terlihat jauh berbeda dari alex[a]lexa. Tantangan yang mungkin harus dijawab oleh duo Monique dan Sandy adalah, bagaimana memproduksi pakaian dengan material yang lebih baik lewat SOE. Dari segi desain, SOE it’s a good urbanwear label.
-IKYK
Ini merupakan satu dari sedikit label yang sukses secara komersial dengan segmen konsumen yang luas, dan bahkan versatil. IKYK bisa dipakai oleh mereka yang berhijab, hingga segmen etnis tertentu yang sebenarnya tidak terlalu familiar dengan hijab. Ini merupakan buah dari kerja keras IKYK yang terjun lewat beragam curated market.
Secara desain, masih banyak orang yang meragukan desain IKYK. Rancangannya dianggap masih belum terlalu istimewa meskipun menarik untuk disimak. Keraguan ini beralasan mengingat ada banyak label dengan desain serupa di luar sana. Tapi, lewat debutnya di IFF, IKYK lumayan berhasil membikin pernyataan kalau secara desain mereka punya perbedaan dengan label lain. Hanya saja, mereka masih harus membuktikan eksplorasinya di musim yang akan datang.
-Ria Miranda
Dengan pasar yang spesifik, dan bahkan cenderung stabil, Ria Miranda lewat label riamiranda SIGNATURE menjadi label yang dengan mudah sukses secara komersial di tingkat lokal. Dengan basis massa-nya, apa pun yang dihasilkan lewat label terbaru ini, kemungkinan besar bakal laris.
Dari segi desain, Ria memang tengah membuktikan kalau dia bukan cuma ‘shabby chic’. Dia ingin membuktikan kalau desainnya lebih dari itu. Mengolah motif songket sebagai aplikasi berupa bordir, hingga ilustrasi suntiang sebagai aksen pada sweater. Ini menjadi eksplorasi yang menarik dari Ria. Setidaknya, dia berhasil membuktikan kalau desainnya bisa berkembang lebih jauh dan lebih menarik.
-Ellyhan, D’Leia, Anthony Bachtiar
Tanpa melebih-lebihkan, saya sama sekali tidak paham alasan pemilihan tiga label ini dalam program. Jujur saja, menurut saya, masih banyak label-label lain yang lebih pantas mendapatkan posisi pada program IFF. Ketimbang siap sebagai produk mode, ketiganya justru tampil hanya sebagai craft belaka. Desain produk yang ditawarkan dengan mudah bisa anda temukan di Thamrin City atau bahkan Tanah Abang, dan tak perlu susah-susah melihatnya di runway JFW 2016. Tas, kalung mutiara, dan gaun karya mereka memang patut dihargai dari segi kriya.
Sayangnya, penghargaan yang diberikan tidak bisa lebih dari itu. Tidak ada eksplorasi desain yang mengikuti tren mode, atau bahkan proyeksi untuk tampil sebagai produk mode yang mewakili Indonesia secara internasional. It’s officially fashion backward instead of fashion forward!
Another good piece from Sean & Sheila. Well, they produce a lot of good pieces. (Getty/JFW2016)