Hijab Visioner

Tulisan ini diterbitkan di Koran Tempo, edisi Sabtu, 21 November 2015

Peragawati Paula Verhoeven tetap mampu berjalan cepat mengikuti dentuman musik, meskipun mengenakan gaun besar bermotif kotak-kotak hijau karya desainer Norma Moi dari label Norma Hauri. Gaun besar yang menyapu lantai itu menjadi pembuka peragaan busana desainer busana hijab ini di panggung Jakarta Fashion Week 2016.

Gaun-gaun besar tanpa gemerlap kristal ataupun sequin menjadi andalan Norma pada koleksinya kali ini. “Kami terinspirasi oleh rumah mode dunia yang memiliki identitas yang tidak lekang oleh waktu,” kata Norma kepada Tempo dua pekan lalu. Norma berbicara soal Christobal Balenciaga, Christian Dior, hingga Yves Saint Laurent, yang menjadi inspirasi koleksi bertajuk “Visionary” ini.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

Rumah mode lama, semacam Balenciaga hingga Dior menjadi inspirasi utama Norma Hauri. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Itu sebabnya, permainan siluet dan struktur menjadi kunci utama. Tanpa banyak ornamen, tampilan yang dimunculkan memang mengejutkan mereka yang menonton. Pun referensinya sebenarnya sangat tidak terduga bagi banyak kalangan. Pasalnya, siapa yang mengira bahwa rancangan Balenciaga bisa menginspirasi rancangan modestwear? Ini merupakan istilah untuk menyebut busana hijab ketimbang busana muslim.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

A lot of  hijabers gushing about this sculptural-shape hijab. They said it could be the next trend on hijab. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Kejutan lain juga muncul dari hijab yang dibuat melayang bak struktur patung. Norma membikin hijab itu seakan-akan tertiup angin. “Padahal memang ada struktur kawat di dalamnya,” kata Norma. Lewat pemilihan tema ini, Norma ingin menunjukkan karya desainer masa lalu yang visioner itu sebenarnya tetap bisa diperbarui, termasuk mengaplikasikan siluet itu pada busana hijab.

Langkah ini juga menegaskan segmen pasar Norma Hauri yang berbeda dengan desainer busana hijab lainnya di Indonesia. Sementara sebagian besar desainer mengejar pasar menengah-bawah, serta memproduksi desain yang mudah dan murah, label Norma Hauri serius menyasar pasar menengah-atas. Dewi Sandra, Okky Asokawati, dan Inneke Koesherawati adalah sejumlah nama yang kerap mengenakan rancangannya.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

Gaun penutup koleksi Visionary karya Norma Hauri. Detail pada pakaian ini dilukis dengan tangan. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Yang jelas, meniru struktur gaun yang dibikin Norma bukanlah pekerjaan mudah bagi toko daring tukang jiplak desain. Kelebihan lainnya, rancangan Norma bisa dikenakan oleh mereka yang tidak berhijab, dan tetap terlihat menarik, serta sopan.

Sementara Norma terinspirasi oleh gaya rumah mode lama, desainer Restu Anggraini lewat label ETU justru mengambil inspirasi dari teori bilangan Fibonacci yang dituangkan menjadi proporsi emas. The Rationalist, begitu Restu menamai koleksinya. “Intinya lebih kepada keseimbangan pada struktur yang dibuat,” kata Restu.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

It is about Fibonanci number. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Struktur yang seimbang itu tidak melulu dengan menjadikannya simetri. Pada beberapa blus, kemeja, ataupun blazer yang dibikinnya, Restu justru membikin susunan yang tidak persis simetri. Menurut dia, proporsi pakaian The Rationalist itu dibikin mengimbangi setiap bagian. Jika ada struktur di sebelah kanan pada blusnya, bakal ada struktur lain yang mengimbangi itu pada bagian kiri. “Tapi tidak mesti simetris.”

Lewat ETU, Restu tetap konsisten untuk menyasar segmen pekerja yang mengenakan hijab. Meskipun begitu, rancangannya bisa juga dikenakan oleh mereka yang tidak berhijab atau bahkan bisa juga dikenakan oleh para pria. Tahun depan juga bakal menjadi langkah besar bagi ETU yang akan diundang untuk tampil dalam Virgin Melbourne Fashion Festival. Ini menjadi debut internasional kedua ETU setelah debutnya di Tokyo Fashion Week tahun ini.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

I guess it is a workwear that applicable for everyone. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Hanya, dengan publikasi yang sedemikian masif, penghargaan sebesar Aus$ 10 ribu sebagai Desainer Muda Terbaik dari ANZ Australia Indonesia Young Designer Award, dan debut internasional, ETU perlu mempersiapkan kapasitas produksi yang lebih besar. Ini menjadi kendala yang diakuinya secara jujur, dan perlu segera dibenahi.

Sementara itu, Dian Pelangi, yang tahun ini bikin perhatian dengan masuk daftar 500 orang paling berpengaruh dalam peta mode global versi Business of Fashion, berkolaborasi dengan dua lulusan London College of Fashion. Bertajuk CoIdentity, Odette Steele dari Zambia dan Nelly Rose dari Inggris bereksperimen dengan teknik tekstil tradisional Indonesia: dari batik, tenun, hingga bordir.

Koleksi Busana Muslim di Jakarta Fashion Week

It is simple, but also stylish. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20151025.

Trio ini berupaya menerjemahkan pelangi dalam rancangan mereka dengan warna-warna terang. Teknik jumputan serta lukisan yang ditampilkan mengingatkan kita pada tampilan kain pantai yang banyak dijual di tempat wisata pesisir. Beberapa batik dengan tulisan nama Dian Pelangi ataupun motif monokromatik lainnya tampil cukup menonjol.

Sayangnya, penataan gaya busana yang menarik itu tidak dikerjakan maksimal. Tabrak lari motif yang tidak mulus membuat banyak tampilan busana gagal memancing perhatian. Secara ansambel, penataan gaya yang dilakukan tidak berhasil meningkatkan faktor “hanger appealing” yang penting di runway.

Jakarta Fashion Week 2016

Koleksi yang benar-benar pelangi dari Dian Pelangi, Nelly Rose dan Odette Steele. Foto: JFW2016/FeminaGroup/Getty

Warna-warna yang ngejreng ditambah aksesori besar dan taburan batu justru terlihat bertumpuk bak onggokan kain pantai. Sebagai desainer yang berpengaruh, dengan 3 juta pengikut di Instagram, Dian perlu membenahi permasalahan styling “tabrak lari” menjadi sedikit lebih tenang, dewasa, dan tidak mencolok.

Jakarta Fashion Week 2016

Foto: FeminaGroup/JFW2016/Getty

Apalagi permasalahan syariah juga menjadi pertimbangan, dan tak jarang menjadi perdebatan di kalangan desainer hijab. Memproduksi desain yang menarik tapi tetap memenuhi kriteria modestwear merupakan tantangan lain bagi para desainer busana hijab di tengah pasar yang tumbuh pesat.

Jakarta Fashion Week 2016

Salah satu tampilan yang menarik dari Dian Pelangi. Foto: JFW2016/FeminaGroup/Getty

 

Let me add another notes:

-Norma Hauri punya segmen khusus yang berbeda dengan desainer modestwear lainnya. Tidak semua wanita cocok dengan DNA label ini.

-ETU bisa dibilang cukup sukses dalam waktu satu tahun sejak debutnya pada JFW tahun lalu. Sangat menarik untuk melihat perjalanan label ini berikutnya. Semoga kapasitas produksinya bisa ditingkatkan. Tanpa itu, semua promosi yang sudah terjadi akan mubazir.

-Dian Pelangi mungkin bisa dibilang berpengaruh secara global lewat jumlah pengikut yang fantastis. Tapi, ada baiknya Dian lebih berani membenahi beragam hal, termasuk styling busananya dan desain yang semoga bisa lebih baik lagi.

Panggung Kesatria Dua Generasi

Peragawati Laura Muljadi kebagian tugas besar: menutup Jakarta Fashion Week 2016. Dengan sayap rotan bertumpuk dua, helm mirip kepunyaan personel grup musik Daft Punk, dan tiara dari kayu tipis berulir, “beban” Laura memang berat.

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yanuardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty/FeminaGroup/JFW2016)

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yunardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty/FeminaGroup/JFW2016)

Kostum seberat puluhan kilogram yang membikin Laura seperti makhluk persilangan alien dan superhero Ultraman itu merupakan karya perancang aksesori Rinaldy A. Yunardi. “Terima kasih karena sudah memberikan kepercayaan kepada saya,” tulis Laura dalam kolom komentar di akun Instagram majalah Dewi yang memuat videonya saat berjalan di runway. Rinaldy merupakan satu dari lima desainer pilihan Dewi dalam acara tahunan Dewi Fashion Knights yang digelar pada Jumat, 30 Oktober lalu.

Dewi Fashion Knights merupakan acara pemilihan desainer Indonesia paling akbar versi majalah besutan Femina Group itu. Perhelatan ini biasanya digelar sebagai penutup Jakarta Fashion Week setiap tahun. Selain menunjuk Rinaldy, yang menjadi pamungkas, Dewi memilih Peggy Hartanto, Lulu Lutfi Labibi, Felicia Budi, serta desainer Australia kelahiran Indonesia, Haryono Setiadi.

Rinaldy adalah yang paling senior di antara lima desainer itu. Dikenal luas dengan gaya desain aksesorinya yang glamor, malam itu, mengusung tema “Lady Warrior”, Rinaldy membuktikan bahwa dia tak hanya jagoan dalam urusan perhiasan.

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yunardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta.

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yunardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta.

Desainer asal Medan yang mengaku belajar merancang secara otodidak itu memajankan kepiawaiannya menerjemahkan tema “‘Eyes to The Future” dari Dewi. Di balik kostum bertema futuristik yang dirancangnya dari rotan, kayu, hingga kertas daur ulang, dia ingin menunjukkan bahwa ada proses desain dan kerja tangan yang dilakukan selama ribuan jam.

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yunardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty Images/JFW2016)

OCTOBER 30: A model walks the runway of Dewi Fashion Knights supported by MAGNUM featuring Spring Summer 2016 collection by Rinaldy A.Yunardi during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty Images/JFW2016)

Desainer pakaian Felicia Budi, yang dikenal lewat eksplorasi materialnya melalui label Fbudi, juga berhasil mencuri perhatian. Membuka peragaan dengan koleksi berwarna putih gading dan detail rumbai, Felicia menunjukkan kecakapannya dalam mengolah material.

My personal fave from FBudi's collection on DFK 2016. (GettyImages/JFW2016/FeminaGroup)

My personal fave from FBudi’s collection on DFK 2016. (GettyImages/JFW2016/FeminaGroup)

Berbahan seratus persen katun organik, ataupun organza, seluruh koleksi yang diperagakan malam itu dibuat dengan metode tenun Sikka, Nusa Tenggara Timur. “Secara fisik mungkin banyak yang mengira itu bukan tenun. Tapi kami tetap menyebutnya sebagai tenun,” ujar Feli—panggilan Felicia—kepada Tempo.

Tema yang diusung Feli dalam koleksinya kali ini terinspirasi sajak Kahlil Gibran bertajuk “Freedom”. Sajak tentang pembebasan dan kemerdekaan itu diterjemahkan lewat detail pada tekstil yang terkesan kasar, sedikit asimetris, dan terlihat liar. Mengusung tema “Tanah Air”, Feli juga punya misi yang hendak dipenuhi lewat koleksi itu. “Sebagian hasil dari penjualan koleksi ini bakal disumbangkan untuk kepentingan pembangunan sekolah penenun di NTT,” kata dia.

Sementara Feli terinspirasi sajak, Peggy Hartanto membikin koleksi dari bentuk-bentuk biota laut. “Awalnya, aku sempat jalan-jalan ke Grand City di Surabaya, lalu lihat ikan-ikan di akuarium,” ujar Peggy. Bentuk sirip, tekstur, ataupun motif ikan itu menjadi salah satu ide dasar Peggy dalam membuat koleksi.

Some 'unfinished' dress from Peggy Hartanto. (GettyImages/JFW2016/FEminaGroup)

Some ‘unfinished’ dress from Peggy Hartanto. (GettyImages/JFW2016/FeminaGroup)

Bentuk itu diolah menjadi pola khusus dalam pakaiannya yang diterjemahkan dalam aksen pada pinggang atau dada. Dalam Dewi Fashion Knights, Peggy berani tampil dengan potongan unfinished, yang membuatnya keluar dari zona nyaman desain potongan rapi serta bersih.

Another deconstructive structured on Peggy Hartanto. (Getty/FeminaGroup/JFW2016)

Another deconstructive structure on Peggy Hartanto. (Getty/FeminaGroup/JFW2016)

Desainer asal Yogyakarta, Lulu Lutfi Labibi, tampil dengan tema “Jantung Hati”. Dengan diiringi lagu dari Frau bertajuk Sepasang Kekasih Pertama yang Bercinta di Angkasa, Lulu tampil dengan tumpukan motif yang tabrak lari dalam setelan blus dan bawahan yang sepertinya terlampau cocok sebagai satu kesatuan.

Motif bunga mirip corak kebaya kembang Paris pada bahan berwarna cokelat dikawinkan dengan bahan lurik. Kali ini, Lulu tidak terlalu banyak bermain draperi asimetris yang telah menjadi cirinya. Dia juga banyak merancang gaun, atau blus dengan sedikit aksen asimetris. Menurut Lulu, koleksinya bercerita tentang orang yang sedang jatuh cinta. “Saat seseorang jatuh cinta, belum tentu mood-nya itu berteriak,” kata dia. Sebaliknya, mood jatuh cinta ala Lulu lebih tenang, yang ditunjukkan lewat pilihan lagu serta tabrakan motif yang lebih kalem.

Finale from Lulu Lutfi Labibi. Lagu tema Sepasang Kasih yang Pertama Kali Bercinta di Angkasa, sukses menarik perhatian banyak orang.

Finale from Lulu Lutfi Labibi. Lagu tema Sepasang Kasih yang Pertama Kali Bercinta di Angkasa, sukses menarik perhatian banyak orang. (Getty/Femina/JFW2016)

Sedangkan Haryono Setiadi ingin membuktikan bahwa dia tetap menyusuri akarnya di Indonesia meskipun sudah menjadi warga Australia. Untuk koleksi bertajuk “Serene”, Haryono mengeksplorasi kain tenganan dengan metode ikat ganda asal Bali. Dia tidak asal memotong kain itu dan mengaplikasikannya pada pakaian. Sebaliknya, tenun ganda menjadi bagian tak terpisahkan dari koleksi ini.

Lihat bagaimana Haryono mengeksplorasi material asal Tenganan dalam koleksinya. Sama sekali tak terlihat etnik, meskipun menggunakan metode etnik pada aplikasi pakaiannya. (Getty/JFW2016/Femina)

Lihat bagaimana Haryono mengeksplorasi material asal Tenganan dalam koleksinya. Sama sekali tak terlihat etnik, meskipun menggunakan metode etnik pada aplikasi pakaiannya. (Getty/JFW2016/Femina)

Tenun tenganan tadi diaplikasikan sebagai aksen pada bagian bahu atau bahkan sebagai rok pendek. “Butuh waktu satu setengah tahun bagi saya untuk melakukan riset soal ini,” ujar dia. Bagi Haryono, menafsirkan kebudayaan Indonesia tidak harus melulu dengan membikin pakaian bergaya etnik. Malam itu, dia berhasil menunjukkan kepiawaiannya sebagai finalis International Woolmark Prize, meskipun belum bisa maksimal memenuhi ekspektasi sebagian besar penonton.

Sebagian besar tepuk tangan riuh malam itu diberikan kepada Rinaldy A. Yunardi, yang menunjukkan tingginya jam terbangnya sebagai senior. Dia tahu panggung dan sanggup memahami keinginan sederet selebriti, sosialita, dan pencinta mode malam itu. Rinaldypunya faktor wow paling besar dalam desainnya, faktor yang belum tentu dipunyai desainer lain.

SUBKHAN J. HAKIM

Artikel ini diterbitkan di Koran Tempo, 7 November 2015, dengan beberapa informasi tambahan.

Catatan tambahan and fun facts:

-Tenun ganda Tenganan yang digunakan oleh Haryono merupakan salah satu metode paling langka yang masih digunakan hingga kini di Bali. Itu sebabnya butuh waktu 1,5 tahun bagi Haryono untuk melakukan riset terhadap tekstil tersebut.

-Lulu Lutfi Labibi baru tiba untuk persiapan show nya di Jakarta, jelang tanggal 30 Oktober. Dia memilih untuk fokus pada koleksinya. Bagi Lulu, DFK merupakan sesuatu yang besar. Sepekan sebelum peragaan, dia bahkan sengaja membolos dari beberapa konferensi pers peragaan busana nya di Jakarta.

-Peggy Hartanto sebenarnya sudah terinspirasi oleh beragam bentuk biota laut sejak kuliah di Australia. Dia sempat meriset bentuk dan motif makhluk laut itu saat masih berkuliah dulu. Tapi, kunjungannya ke akuarium mall Grand City Surabaya yang menjadi pemantik dia membikin koleksi bertajuk Fin ini.

-Felicia Budi memang menghindari membikin warna ngejreng pada koleksinya yag bertajuk Tanah Air. Sebaliknya, dia justru menghindari warna-warna terang pada karakter asli wastranya. Itu sebabnya Feli menyebutnya sebagai tenun yang bukan tenun.

My personal review on DFK 2016:

Menarik untuk dilihat. Tapi sebenarnya ini lebih mirip pertempuran 4 lawan 1. Felicia, Peggy, Lulu dan Haryono merupakan nama-nama baru yang harus kita tunggu perkembangannya lima hingga 10 tahun mendatang. Kita masih harus menunggu terobosan-terobosan baru dari mereka serta eksplorasi lebih jauh dari apa yang mereka rumuskan saat ini. Tentu, kita tidak ingin masing-masing dari mereka mengembangkan desain yang membosankan setiap tahunnya. Kami pasti bakal menunggu ide baru atau bahkan konsep baru dalam desain pakaian–yang semoga–penuh kejutan ketimbang mudah ditebak.

Jika panggung DFK adalah pertempuran tinju, pemenangnya mungkin adalah Rinaldy A Yunardi. Jam terbangnya berbicara lewat rancangan yang dia suguhkan malam itu. Terlepas dari perdebatan desain siapa yang jadi referensi Rinaldy–yang kadang seringkali dipermasalahkan–dia masih menjadi desainer aksesori yang sulit digantikan. Peragaannya malam itu, seakan berteriak: “Yeah. It’s me.” Dan ya, dia masih menjadi satu-satunya.

This is madness. Fashion madness. (Getty/JFW2016/Femina)

This is a madness. A high-fashion madness. (Getty/JFW2016/Femina)

Maju-Mundur Desainer Muda di JFW 2016

Setiap tahunnya, Jakarta Fashion Week 2016 menghadirkan desainer-desainer muda pendatang baru. Mereka, diberi panggung di Indonesia Fashion Forward (IFF). Ini merupakan program inkubator kerja sama JFW, Badan Ekonomi Kreatif, dan British Council. Sepuluh desainer anyar tersebut menyasar konsumen yang berbeda-beda. Sebagian juga mengembangkan labelnya ke lini terbatas. Shopatvelvet, riamiranda, dan Alex[a]lexa adalah tiga label yang ditantang untuk membuat produk premium.

OCTOBER 24: A model walks the runway of Indonesia Fashion Forward featuring Spring Summer 2016 collection by By Velvet during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty/JFW2016/Femina)

OCTOBER 24: A model walks the runway of Indonesia Fashion Forward featuring Spring Summer 2016 collection by By Velvet during the Jakarta Fashion Week 2016 in Senayan City, Jakarta. (Getty/JFW2016/Femina)

“Label yang kami luncurkan di JFW ini berbeda dengan shopatvelvet,” ujar Randy W. Sastra, desainer byvelvet, dalam JFW 2016 yang berlangsung di Senayan City. Shopatvelvet, dia melanjutkan, merupakan label yang sudah diproduksi secara massal. Dalam satu bulan, mereka bisa memproduksi hingga ribuan potong pakaian. Harga shopatvelvet yang digarap Randy bersama istrinya, Yessi Kusumo, biasanya berkisar pada ratusan ribu rupiah. Sedangkan kisaran harga byvelvet sudah jutaan.

Di label baru tersebut, Randy dan Yessi menggunakan material berbeda. “Lebih banyak bahan yang dekat dengan alam dan juga material kaya tekstur,” ujar Yessi. Ini sesuai dengan tema koleksi perdana byvelvet yang mengusung tema arsitektur modern.

Farnsworth House karya arsitek Ludwig Mies van Rohe diterjemahkan dengan potongan pakaian yang bersih serta sedikit aksen asimetris pada konstruksi pakaian. Yang perlu diacungi jempol dari byvelvet adalah pemilihan palet warnanya yang konsisten. Mulai dari warna krem, hijau pandan, hingga merah bata. Tapi byvelvet masih perlu membuktikan diri dalam eksplorasi desain yang lebih beragam pada musim berikutnya.

Desainer busana muslim Ria Miranda kali ini memilih untuk tampil beda lewat label riamiranda SIGNATURE. “Saya ingin membikin koleksi yang lebih mature,” kata Ria kepada Tempo.

Menurut Ria, secara perlahan dia mulai meninggalkan gaya shabby chic. Ini merupakan nama aksen desain interior yang kental dengan nuansa pastel dan warna pupus yang sebelumnya kerap jadi andalan Ria. “Saat ini, banyak sekali orang yang mengambil inspirasi gaya shabby chic,” kata Ria.

Warna pastel serta palet pupus sebenarnya tetap muncul dalam koleksinya kali ini. Tapi Ria memadukannya dengan motif songket yang diaplikasikan dengan bordir, serta permainan pleats pada hijabnya. Hasilnya berupa tampilan super-feminin dan juga klasik.

Sedangkan Alex[a]lexa ditantang untuk membikin label premium. Dengan label SOE Jakarta, pasangan Monique Soeriatmadja dan Sandy Soeriatmadja mengangkat tema olahraga dengan sentuhan yang chic.

Sabuk karate, jaket baseball, hingga topi pet menjadi penanda inspirasi itu. Uniknya, tafsiran tersebut tidak terlihat harfiah pada beragam tampilannya. Yang muncul adalah koleksi dengan gaya anak muda urban, dengan sedikit sentuhan humor.

In love with this piece by Sean & Sheila! (Getty/Femina/JFW2016)

In love with this piece by Sean & Sheila! (Getty/Femina/JFW2016)

Selain tiga label itu, sejumlah besar label cukup sukses dengan debutnya dalam IFF, di antaranya Sean & Sheila, Lekat, dan IKYK. Koleksi yang terkonsep rapi, serta detail produk yang cukup bersih, sukses mencuri perhatian banyak pemerhati mode Indonesia. Sedangkan label Lotuz, yang kini digawangi pengusaha muda Michelle Surjaputra dan penata gaya Kesya Moedjenan, juga berhasil dengan debut koleksinya.

Namun tidak semua label berhasil memanfaatkan momentum. Anthony Bachtiar, D’Leia, dan Ellyhan gagal menerjemahkan koleksi mereka untuk masuk dalam tren. Ketimbang merancang produk dengan desain yang segar dan maju ke depan—sesuai dengan nama program “Forward”—tiga label ini terjebak pada kerajinan tangan belaka.

Secara estetika, kreasi mereka menarik. Namun lebih dihargai sebagai craft ketimbang produk mode. Jika ingin bertahan dalam program, tiga label ini harus berani melakukan pendekatan radikal dalam desain produknya. Ini penting untuk kredibilitas kurasi program, yang punya seabrek alumnus sukses.

SUBKHAN J. HAKIM

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 1 November 2015.

***

Personal review for IFF 2015:

Angkatan yang agak membingungkan, sedikit penuh drama dan maju-mundur. Dari sepuluh desainer dan label, banyak yang sukses dengan koleksi yang menarik, tapi ada juga yang sepertinya bingung mau apa dengan program ini?

Another great piece from Sean & Sheila. (Getty/JFW2016/Femina)

Another great piece from Sean & Sheila. (Getty/JFW2016/Femina)

Berikut ini bahasan singkatnya:

-Sean & Sheila

Bisa dibilang sebagai salah satu yang terkuat di IFF 2015. Sebenarnya Sean and Sheila, sejak debutnya akhir 2014, memang sudah menunjukkan kalau mereka adalah desainer muda yang layak diperhitungkan. Sean Loh dan Sheila Agatha, merupakan alumnus kompetisi Harpers Bazaar Asia’s Next Generation Fashion Designer Award. Sheila Agatha merupakan pemenang asal Indonesia, sedangkan Sean Loh merupakan jawara dari Malaysia. Keduanya, dulu berkuliah di kampus yang sama, dan kemudian bergabung membikin label Sean & Sheila. Garis desain utama mereka adalah luxury wear for Asian people. Itu sebabnya siluet berupa kimono, seringkali muncul dalam koleksi mereka. Jika pada awal tahun ini mereka terinspirasi Butoh. Untuk tahun depan, mereka bergeser kepada Gustav Klimt.

Beberapa karya Klimt yang sedikit gelap, dan kebanyakan erotis pada masanya–sebenarnya lukisan Klimt lebih mirip versi modern dan duniawi dari lukisan katakombe–menjadi inspirasi mereka. Karya Klimt yang bertajuk The Kiss, menjadi salah satu inspirasi utama mereka kali ini. Hasilnya? Ada fusi yang menarik antara timur dan barat di dalam koleksi mereka. Tak ada siluet yang provokatif, tapi percayalah detail mereka sangat rapi. Begitu juga dengan konsep koleksi yang konsisten dan jauh dari kata ngawur. Secara kualitas, saya harus mengakui mereka salah satu yang terbaik musim ini.

Hanya saja, Sean & Sheila punya pekerjaan rumah yang sangat besar. Dengan kualitas yang mumpuni–dan juga kisaran harga yang lebih tinggi ketimbang desainer lain–mereka harus bisa memasarkan produknya lebih keras lagi. Mereka butuh tim (marketing dan public relation) yang bisa mendukung bisnis mereka secara strategis. Jika masalah itu bisa terpecahkan, Sean & Sheila bisa jadi bakal menuai sukses dalam waktu dekat.

-Byvelvet (Shopatvelvet)

Tantangan terbesar Yessi Kusumo dan Randy W Sastra memang mengangkat label massal shopatvelvet, menjadi label premium byvelvet. Lewat shopatvelvet, sebenarnya mereka sudah punya modal yang kuat berupa tim yang solid (beserta kapasitas produksi yang lebih dari cukup untuk memenuhi standar ritel) hingga tim kehumasan dan pemasaran yang cukup mapan. Secara bisnis, label ini sudah matang untuk bertransformasi.

Mengusung inspirasi arsitektur modern dan kecenderungan pada minimalisme, banyak orang yang masih kecewa dengan permainan desain dari byvelvet. Meskipun palet warna mereka indah, serta konsepnya sangat kuat, masih banyak suara-suara yang mempertanyakan, sejauh apa nilai lebih desain byvelvet? Permainan asimetris dan sedikit dekonstruktif, serta material yang jauh lebih baik dari shopatvelvet tampaknya belum banyak diterima sebagai nilai lebih.

Masih banyak pertanyaan semacam: “Kalau gue bisa beli baju yang mirip-mirip aja dengan label aslinya, kenapa gue harus beli yang premiumnya?”. Eksplorasi desain pada lini premium ini tampaknya masih harus digarap dengan lebih serius bagi byvelvet. Tapi, bagi saya, palet warna mereka musim ini, merupakan salah satu yang paling menyenangkan untuk diliat di IFF 2015.

-Lotuz

Secara pribadi, saya sering mencerca Lotuz sejak debut mereka pertama kali. Bahkan saya tak segan menyebut baju mereka penuh kerut-kerut mengerikan, missed-fit, dan overpriced pada peluncuran label ini tahun lalu. Permainan brokat, serta warna yang tiba-tiba terlalu vibrant juga kadang terasa sangat mengganggu.

Untungnya, Lotuz berubah jauh lebih baik. Rupanya, ada perubahan komposisi Direktur Kreatif dari Yosep Sinudarsono–desainer muda asal Semarang–ke Kesya Moedjenan yang lebih dikenal sebagai fashion stylist. Perubahan yang sebenarnya terjadi kurang dari enam bulan itu, berhasil membawa banyak ‘hal positif’ pada label ini.

Permainan teknik laser cut, siluet penuh struktur dekonstruktif menjadi salah satu hal positif tadi. Bordir, memang masih ada. Tapi ditekan ke arah yang lebih komikal berupa ilustrasi mata, lengkap dengan alis dan bulu mata. Itu menjadi detail yang menarik, tapi sayangnya kurang tergarap dengan rapi. Untungnya, Lotuz sudah berada pada ‘jalan yang benar’ dengan desain yang matang. Saya harus mengucapkan selamat atas hasil kerja keras Michelle Surjaputra dan Kesya kali ini. Yes, it is close enough to luxury ready to wear.

-Lekat

Sejak kemunculannya di JFW tahun lalu, Lekat memang sudah banyak menarik perhatian. Konsep tenun baduy yang diusung, sukses menarik minat banyak orang untuk memakainya. Begitu juga dengan tahun ini. Dengan tema ‘The Eye Has To Travel’, desainer Amanda I Lestari, cukup berhasil menafsirkan kesan 1970-an lewat koleksinya kali ini.

Lewat permainan ilustrasi yang diaplikasikan pada tenun baduy–yang tentu butuh waktu berbulan-bulan dalam pengerjaannya–kesan 70-an itu muncul. Meskipun koleksinya dibikin dari tenun, Amanda sukses mengubahnya menjadi pakaian siap pakai. Sayangnya, ada sedikit permasalahan penataan gaya pakaian-pakaian ini sebagai ansambel. Akibatnya, banyak dahi yang berkerut ataupun wajah yang berjengit saat  melihat presentasi koleksinya.

Bagi mereka yang belum mengenal Lekat, secara otomatis bakal menganggap aneh pakaian yang ditawarkan. Tapi, rasa kagum bakal muncul usai mengetahui material utama Lekat adalah tenun baduy. Amanda masih perlu untuk mengeksplorasi desain Lekat lebih jauh lagi. Bagaimana membikin masyarakat awam bisa menghargai Lekat secara langsung tanpa perlu tahu kalau material utama mereka tenun baduy adalah salah satu tantangan yang harus dijawab oleh Amanda.

-SOE Jakarta (alex[a]lexa)

Sama seperti byvelvet, alex[a]lexa ditantang untuk naik kelas lewat produk premium. Dengan pasar alex[a]lexa yang sudah cukup matang, SOE perlu untuk membikin debut yang menarik. Rupanya, debut Monique dan Sandy Soeriatmadja cukup menjanjikan sebagai label baru.

Inspirasi sporty look, lewat sabuk karate yang diubah menjadi aksen pada beberapa bagian pakaian, atau varsity jacket yang diubah dengan sentuhan yang sedikit quirky, bisa menarik minat banyak orang. Ada sedikit unsur humor yang muncul lewat penafsiran tema itu. Hasilnya, SOE Jakarta terlihat jauh berbeda dari alex[a]lexa. Tantangan yang mungkin harus dijawab oleh duo Monique dan Sandy adalah, bagaimana memproduksi pakaian dengan  material yang lebih baik lewat SOE. Dari segi desain, SOE it’s a good urbanwear label.

-IKYK

Ini merupakan satu dari sedikit label yang sukses secara komersial dengan segmen konsumen yang luas, dan bahkan versatil. IKYK bisa dipakai oleh mereka yang berhijab, hingga segmen etnis tertentu yang sebenarnya tidak terlalu familiar dengan hijab. Ini merupakan buah dari kerja keras IKYK yang terjun lewat beragam curated market.

Secara desain, masih banyak orang yang meragukan desain IKYK. Rancangannya dianggap masih belum terlalu istimewa meskipun menarik untuk disimak. Keraguan ini beralasan mengingat ada banyak label dengan desain serupa di luar sana. Tapi, lewat debutnya di IFF, IKYK lumayan berhasil membikin pernyataan kalau secara desain  mereka punya perbedaan dengan label lain. Hanya saja, mereka masih harus membuktikan eksplorasinya di musim yang akan datang.

-Ria Miranda

Dengan pasar yang spesifik, dan bahkan cenderung stabil, Ria Miranda lewat label riamiranda SIGNATURE menjadi label yang dengan mudah sukses secara komersial di tingkat lokal. Dengan basis massa-nya, apa pun yang dihasilkan lewat label terbaru ini, kemungkinan besar bakal laris.

Dari segi desain, Ria memang tengah membuktikan kalau dia bukan cuma ‘shabby chic’. Dia ingin  membuktikan kalau desainnya lebih dari itu. Mengolah motif songket sebagai aplikasi berupa bordir, hingga ilustrasi suntiang sebagai aksen pada sweater. Ini menjadi eksplorasi yang menarik dari Ria. Setidaknya, dia berhasil membuktikan kalau desainnya bisa berkembang lebih jauh dan lebih menarik.

-Ellyhan, D’Leia, Anthony Bachtiar

Tanpa melebih-lebihkan, saya sama sekali tidak paham alasan pemilihan tiga label ini dalam program. Jujur saja, menurut saya, masih banyak label-label lain yang lebih pantas mendapatkan posisi pada program IFF. Ketimbang siap sebagai produk  mode, ketiganya justru tampil hanya sebagai craft belaka. Desain produk yang ditawarkan dengan mudah bisa anda temukan di Thamrin City atau bahkan Tanah Abang, dan tak perlu susah-susah melihatnya di runway JFW 2016. Tas, kalung mutiara, dan gaun karya mereka memang patut dihargai dari segi kriya.

Sayangnya, penghargaan yang diberikan tidak bisa lebih dari itu. Tidak ada eksplorasi desain yang mengikuti tren mode, atau bahkan proyeksi untuk tampil sebagai produk mode yang mewakili Indonesia secara internasional. It’s officially fashion backward instead of fashion forward!

Another good piece from Sean & Sheila. Well, they produce a lot of good pieces. (Getty/JFW2016)

Another good piece from Sean & Sheila. Well, they produce a lot of good pieces. (Getty/JFW2016)